
'Perang Vaksin' di Balik Pembatasan Haji 2021 Arab Saudi?

Jika kita melihat dinamika penanganan pandemi Covid-19 di dunia, di mana semua negara saling berlomba mengembangkan dan memasarkan vaksin, alasan yang disampaikan oleh Menteri Yaqut menjadi cenderung simplisistis atau menyederhanakan realita.
Pemerintah Arab Saudi sejauh ini baru mengakui empat merek vaksin yang digunakan di negeri mereka. Keempatnya adalah besutan "Blok Barat", yakni Moderna (Amerika Serikat/AS), Pfizer-Biontech (Jerman-AS), Oxford-Astrazeneca (Inggris-Swedia), dan Johnson & Johnson (AS).
Di luar itu, kita tahu bahwa ada beberapa vaksin yang dikembangkan oleh negara non-Barat, yang dipakai banyak negara, tetapi belum diakui oleh pemerintah Saudi. Sebut saja Sinovac dan Sinopharm yang keduanya merupakan besutan China, serta vaksin Sputnik V (besutan Rusia).
Sama seperti vaksin-vaksin buatan negara Barat, vaksin asal negara "Blok Timur" tersebut juga sudah banyak dipakai di berbagai negara. Indonesia, misalnya, menjadi salah satu pasar terbesar Sinovac, bersama dengan 80 negara lainnya.
Alasan kenapa Saudi hanya mengakui empat merek vaksin itu menjadi pertanyaan besar. Terlebih, hal tersebut berkonsekuensi pada izin masuk ke negaranya, yang hingga detik ini hanya diberikan pada 11 negara. Semuanya adalah kubu Barat yakni Uni Emirat Arab (UEA), Jerman, AS, Irlandia, Italia, Portugal, Inggris, Swedia, Swiss, Prancis dan Jepang.
Pasalnya, jika bicara mengenai persetujuan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), lembaga di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) itu faktanya telah menyetujui penggunaan Sinovac dan Sinopharm untuk keperluan darurat (emergency use of listing/EUL).
Baik Biontech, AstraZeneca, Johnson & Johnson maupun Moderna juga mendapatkan izin WHO dengan status sama, yakni untuk keperluan darurat (EUL). Pada dasarnya, pengembangan semua vaksin Covid-19 masih belum tuntas dan perlu uji-coba skala luas yang melibatkan penerima lintas-ras.
Uniknya, vaksin Sputnik yang sejauh ini telah dipakai di 66 negara di dunia seperti India, Argentina, Palestina, hingga Filipina justru belum diakui WHO. Padahal, vaksin besutan Gamaleya Research Institute tersebut disebutkan memiliki efektivitas 97,6% (berdasarkan data per 31 Maret).
Efektivitas tersebut lebih tinggi dari vaksin Pfizer yang sebesar 95%, Moderna yang di level 94%, dan Johnson & Johnson yang hanya 66,3%. Vaksin Sinovac pun memiliki efektivitas sebesar 51% atau melampaui ambang batas minimal layak-tidaknya vaksin diedarkan, yakni sebesar 50%.
Dengan demikian, semestinya jika berbasis data klinis maka tidak ada alasan bagi WHO atau bagi negara tertentu melarang penggunaan vaksin-vaksin yang sama-sama menunjukkan efektivitas melawan virus Covid-19, dan sama-sama masih menyempurnakan produk vaksin mereka.
Halaman Selanjutnya >> Vaksin Bukan Lagi Produk Netral