
ESDM Ajukan Tambahan Insentif Fiskal Migas, Apa Saja?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengajukan tambahan insentif fiskal ke Kementerian Keuangan terkait industri hulu minyak dan gas bumi.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, rencana pengajuan tambahan insentif ini guna mendukung target produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari (bph) pada 2030 mendatang.
Ditambah dengan adanya kondisi pandemi Covid-19 yang membuat permintaan minyak dunia menurun, sehingga produsen migas tengah menurunkan investasinya. Oleh karena itu, guna meringankan beban investor dan di sisi lain bisa meningkatkan produksi minyak dalam negeri, maka tambahan insentif diperlukan.
"Kita sedang siapkan satu proposal ke Kementerian Keuangan untuk bisa memberikan keringanan fiskal lebih lanjut. Nah ini akan kita bahas dalam rapat internal dengan Kemenkeu mengenai perpajakan dan wilayah usaha," tuturnya kepada Komisi VII DPR RI, Rabu (02/06/2021).
Arifin menyebut, usulan tambahan insentif tersebut berasal dari Asosiasi Perusahaan Migas Indonesia (Indonesian Petroleum Association/ IPA). Menurutnya, IPA sepakat mendukung target produksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030.
"IPA pada umumnya mendukung target produksi minyak 1 juta bph dengan masukan harus ada fiscal term yang harus bisa memberikan keringanan buat mereka. Ini yang sedang kami upayakan. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ada kesepakatan," harapnya.
Arifin pun memaparkan dampak pandemi Covid-19 berupa penurunan permintaan minyak dunia membuat produsen migas berpikir dan memiliki banyak pertimbangan jika ingin meningkatkan produksi.
Dia pun mengatakan, sebanyak 15 perusahaan migas atau dikenal dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) besar pada umumnya capaian produksinya masih di bawah rata-rata target, termasuk ExxonMobil Cepu Ltd, PT Chevron Pacific Indonesia, BP Berau Ltd maupun PT Pertamina EP.
Selain karena pandemi Covid-19, menurutnya hal yang harus diperhatikan yakni produktivitas sumur yang sudah mulai menurun. Tak aneh bila kini sumur tua banyak ditinggalkan KKKS karena lebih banyak produksi air daripada minyak.
Guna menarik investor, pihaknya pun telah mengubah aturan terkait kontrak bagi hasil migas, dari yang semula kontrak baru harus dengan kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/ PSC) Gross Split, kini bisa hanya menjadi salah satu opsi, di mana PSC Cost Recovery juga masih bisa diterapkan.
"Kita sudah mencoba mengubah skema yang lebih menarik lagi, dari kontrak gross split ke cost recovery untuk memberikan motivasi ke KKKS," kata Arifin.
Saat ini menurutnya Kementerian ESDM mencoba untuk bisa memberikan keringanan lebih besar lagi kepada kontraktor dari sisi bagi hasil produksi (split) antara pemerintah dan kontraktor. Dia mengaku, hal ini perlu dilakukan karena jika dibandingkan dengan negara sekitar di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), mereka lebih agresif di dalam memberikan insentif daripada Indonesia.
"KKKS besar juga sudah mengalihkan ke energi bersih. Sebagai suatu ilustrasi, banyak pemain besar minyak dunia sudah mengurangi capex (capital expenditure/ belanja modal) untuk investasi besar," jelasnya.
Indonesia pun menurutnya akan berupaya menuju ke energi baru terbarukan, sebagai salah satu upaya mengurangi konsumsi atau impor bahan bakar minyak (BBM) dan memperbanyak penggunaan energi bersih.
Produksi terangkut (lifting) minyak dan gas bumi (migas) pada 2022 diusulkan sekitar 1,717-1,829 juta barel setara minyak per hari (BOEPD), terdiri dari lifting minyak sekitar 686-726 ribu barel per hari (bph) dan lifting gas bumi 1,031-1,103 juta BOEPD.
Usulan lifting migas pada 2022 ini juga meningkat dari APBN 2021 yang ditetapkan sebesar 1,712 juta BOEPD untuk migas, terdiri dari 705 ribu bph untuk minyak dan 1,007 juta BOEPD untuk gas bumi.
Adapun realisasi lifting sampai 20 Mei 2021 yakni 1,592 juta BOEPD, terdiri dari lifting minyak 630 ribu barel per hari dan gas 962 ribu bph.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Produksi Minyak 1 Juta Barel Tercapai, RI Hemat Rp200 T/Tahun
