Terapkan Pajak Karbon, Sri Mulyani Bisa Raup Rp 53 Triliun!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah saat ini sedang mepertimbangkan untuk memungut pajak karbon atau carbon tax, guna menambah penerimaan negara sekaligus pengurangan emisi gas rumah kaca.
Diketahui, pemerintah mempersiapkan dua alternatif untuk memungut pajak karbon. Hal ini diketahui melalui Kerangka Ekonomi Makro Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022.
Alternatif pertama, pungutan pajak karbon dengan menggunakan instrumen perpajakan yang tersedia saat ini. Mulai dari cukai, PPh, PPN, PPnBM, maupun PNBP di tingkat pusat hingga Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor di level daerah.
Kedua, pemerintah membentuk instrumen baru, yakni dengan pajak karbon. Namun, instrumen baru ini perlu revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Kendati demikian, rincian struktur pajak karbon belum jelas, tapi pemerintah juga telah mengumumkan niatnya untuk mengenakan pajak pada industri yang mengeluarkan karbon seperti pulp dan kertas, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia.
Bahana Sekuritas memperkirakan emisi CO2 per sektor di Indonesia didominasi oleh industri (37%), listrik 27%, dan sektor transportasi 27%, dengan emisi CO2 terkait energi mencapai 625 MtCO2 pada 2019.
"Untuk negara berkembang seperti Indonesia, kami berpikir bahwa tarif karbon sebesar US$ 5-10/ton CO2 akan masuk akal mengingat tarif yang lebih agresif di tempat lain," jelas Bahana Sekuritas melalui laporannya, Rabu (2/6/2021).
Bahana Sekuritas menjelaskan bahwa secara global 61 inisiasi harga karbon telah diimplementasikan, dari emission-trading system (ETS) atau sistem perdagangan emisi sebanyak 31 desain dan 30 kebijakan pajak karbon di 46 yurisdiksi nasional dan 32 sub-nasional dengan tarif berkisar antara US$ 1-119/ton CO2.
Biasanya, pendapatan yang dihasilkan digunakan untuk mendukung program energi bersih, untuk menurunkan pajak dan mengkompensasi rumah tangga berpenghasilan rendah.
Bagi Indonesia, penerapan pajak karbon, menurut Bahana Sekuritas tampaknya lebih cenderung mengadopsi modal ETS mengingat kepastian harga dan implementasi yang lebih mudah untuk mendukung defisit anggaran.
Kemudian pada 2022, kemungkinan daftar industri yang terkena pajak karbon atau ETS secara bertahap akan diperluas ke otomotif, minyak sawit, makanan dan minuman, dan sebagainya.
"Meskipun ini mungkin memerlukan tinjauan komprehensif tentang masing-masing emisi dari Kementerian Lingkungan dan pemberitahuan kepada Bursa Efek Indonesia," ujar Bahana Sekuritas.
Berdasarkan studi Bank Dunia, pajak karbon domestik sebesar US$ 30/ton CO2 akan meningkatkan sumber daya lebih dari 1,5% dari PDB.
Bahana Sekuritas menilai, Indonesia mungkin mulai dengan tarif pajak karbon 5% hingga 10% yang sederhana.
"Pendapatan pajak yang dihasilkan dapat mencapai Rp 26 triliun hingga 53 triliun atau 0,2% hingga 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi tarif pajak sekitar US% 5 - 10 per ton CO2 yang mencakup 60% emisi energi," ungkap Bahana Sekuritas.
Ini artinya, potensi pendapatan yang dihasilkan kemungkinan lebih besar dibandingkan dengan perpindahan ke perusahaan digital pajak.
Selain itu juga, pajak karbon juga mungkin memiliki beberapa efek positif pada pengurangan emisi karbon, namun ada juga dampak negatif dalam jangka pendek, yakni dalam bentuk harga energi dan pada akhirnya konsumsi rumah tangga.
Adapun IMF memproyeksi, jika Indonesia menerapkan pajak karbon US$ 75/tCO2 secara menyeluruh, harga energi rata-rata akan meningkat cukup besar, di antaranya harga domestik batubara, gas alam, listrik, dan bensin akan meningkat masing-masing sebesar 239%, 36%, 63%, dan 32%.
[Gambas:Video CNBC]
Sri Mulyani: Pajak Karbon Mulai Berlaku 1 April 2022
(mij/mij)