
Titah Xi Jinping: Banyak Anak Banyak Rezeki! Ini Alasannya

Jakarta, CNBC Indonesia - China mengubah kebijakan kependudukan secara drastis. Kebijakan satu anak cukup yang diberlakukan sejak 1979 diubah menjadi tiga anak lebih baik.
"Kebijakan ini akan didukung oleh berbagai upaya yang akan kondusif bagi struktur populasi negara dan mengatasi masalah populasi yang menua," tulis kantor berita Xinhua berdasarkan hasil rapat Politbiro Partai Komunis China yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping.
Upaya pemerintah untuk mendukung kebijakan tiga anak antara lain adalah menurunkan biaya pendudukan, insentif pajak, dukungan perumahan, dan landasan hukum bagi perempuan yang bekerja. Pemerintah juga akan mengatur sistem 'uang mahar' (dowry) bagi keluarga calon mempelai perempuan, yang selama ini begitu tinggi sehingga meredam keinginan untuk menikah.
Pada 2020, rata-rata seorang perempuan China memiliki 1,3 anak. Ini sama seperti negara-negara yang memiliki masalah penuaan populasi (ageing population) yaitu Jepang dan Italia. Idealnya, China membutuhkan 2,1 kelahiran per tahun.
Namun kebijakan ini tidak begitu saja bisa diterima oleh warga Negeri Tirai Bambu. Zhang Xinyu, seorang ibu satu anak yang berdomisili di Zhengzhou, menyatakan sulit bagi dirinya dan keluarga untuk menambah anak lagi.
"Perempuan yang lebih banyak bertanggung jawab dalam membesarkan anak dan masyarakat tidak memberi dukungan untuk itu. Berbeda kalau laki-laki ikut membesarkan anak, mungkin akan lebih banyak perempuan yang bersedia untuk memiliki anak lagi. Mempertimbangkan berbagai faktor, saya tidak mau punya anak kedua. Anak ketiga? Mustahil," papar Zhang dalam wawancara dengan Reuters.
"Saat ini, orang tua muda harus membeli rumah sendiri. Tekanan ini sudah sangat berat. Ditambah dengan biaya untuk anak seperti pendidikan dan sebagainya, saya rasa kebijakan ini akan sulit untuk diimplementasikan," tambah Gan Yuyang, ibu dari satu anak, juga dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Angka Kelahiran China Terus Menurun
Pada 1979, China mulai memberlakukan kebijakan satu anak per keluarga. Kebijakan ini bertujuan untuk menekan angka kemiskinan dan mengendalikan pertumbuhan penduduk, terutama di perdesaan.
Salah satu kontroversi kebijakan ini adalah tingginya angka aborsi, terutama terhadap anak perempuan. Dalam kebudayaan China, anak laki-laki lebih 'berharga' karena meneruskan nama keluarga. Pada 2015, pemerintah China tegas melarang aborsi terhadap anak dengan jenis kelamin tertentu.
Pada 2016, pemerintah China memberi kelonggaran dengan mengizinkan satu keluarga memiliki dua anak. Meski sudah ada relaksasi angka kelahiran tetap rendah. Pada 2019, jumlah kelahiran per 1.000 penduduk adalah 10,48, turun dibandingkan 2018 yang sebesar 10,94.
Dalam satu dasawarsa terakhir, rata-rata angka kelahiran adalah yang terendah sejak dekade 1950-an. Pada 2010-2019, rata-rata angka kelahiran per 1.000 penduduk adalah 11,93
Dalam periode 2019-2020, angka kelahiran China turun 15%. Pertimbangan keamanan finansial, ditambah dengan kehadiran pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), membuat keluarga di Negeri Panda semakin enggan untuk memiliki buah hati.
Halaman Selanjutnya --> China Ingin Ubah Ekonomi
Penduduk menjadi penting dalam upaya transformasi ekonomi China. Presiden Xi ingin mengubah struktur ekonomi China dari produkif menjadi konsumtif.
Berbeda dengan Indonesia, konsumsi rumah tangga bukan penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) China. Mengutip catatan Bank Dunia, konsumsi rumah tangga 'hanya' berkontribusi sekitar 30% terhadap PDB China, sementara Indonesia lebih dari 50%.
Selama ini, penyumbang utama PDB China adalah investasi atau Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB). Kontribusi pos ini terhadap PDB mencapai lebih dari 40%.
China yang begitu jor-joran menggenjot investasi menyebabkan satu masalah pelik. Utang korporasi, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), membengkak karena terus berekspansi.
Mengutip Reuters,pada 2006 dari 1.189 perusahaan besar di China ada 845 yang memiliki rasio utang sehat. Kesehatan rasio utang diukur dari perbandingan antara utang bersih dengan laba sebelum pembayaran bunga, pajak, amortisasi dan depresiasi (EBITDA). Rasio utang bersih/EBITDA menggambarkan seberapa lama perusahaan mampu melunasi utang jika faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus).
Rasio utang bersih/EBITDA sehat biasanya berada di kisaran 0-5. Kalau di atas lima, maka sudah tidak sehat.
Pada 2006, masih banyak perusahaan yang memiliki rasio utang sehat yaitu 845 dari 1.189 atau 71,07%. Namun pada 2016, jumlahnya menyusut menjadi 557 perusaaan (48,53%).
![]() |
Saat utang pemerintah relatif terkendali, tidak demikian dengan utang swasta (termasuk BUMN). Pada 2020, utang swasta di China mencapai 182,43% dari PDB, rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Tidak ingin masalah ini semakin berlarut-larut, Presiden Xi memutuskan untuk mengubah struktur ekonomi China. Jangan lagi investasi menjadi motor pertumbuhan ekonomi, karena akan menambah beban utang.
Oleh karena itu, konsumsi rumah tangga harus jadi yang utama. Memang laju pertumbuhan ekonomi tidak akan secepat jika didorong oleh investasi, tetapi konsumsi menjanjikan sesuatu yang lebih stabil dan berjangka panjang. Ekonomi China mungkin sulit untuk tumbuh dua digit, tetapi lebih baik begitu daripada tersandera oleh gunungan utang.
Agar konsumsi bisa tampil sebagai 'pemeran' utama, kuncinya adalah manusia. Semakin banyak manusia, maka konsumsi akan semakin meningkat dan diharapkan mampu menggantikan peran investasi.
So, wajar jika China ingin jumlah penduduknya terus bertambah. Kalau kebijakan satu anak cukup masih dianut, maka konsumsi akan sulit untuk digeber.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article China Tua Sebelum Kaya