Seramnya Taper Tantrum Sampai Sri Mulyani Mulai Ancang-ancang

Maikel Jefriando & Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
31 May 2021 18:55
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Siapa sangka masa-masa indah penuh kemewahan orang kaya baru di Indonesia harus berakhir di 2013. Mimpi buruk yang menjadi nyata setelah pernyataan dari Pimpinan the Fed Ben S. Bernanke.

Berdasarkan informasi yang dihimpun CNBC Indonesia, Selasa (9/3/2021), kala itu, ekonomi Indonesia memang di atas angin. Tumbuh pada rata-rata di atas 6%, rupiah perkasa bahkan di level 8.000 per dolar AS, neraca transaksi berjalan surplus dan lonjakan harga komoditas. Kemewahan yang luar biasa seakan wajah Indonesia sebagai negara maju ada di depan mata.

Namun pada Juni 2013 Bernanke mengeluarkan pernyataan bombastis, yaitu the Fed segera memulai pengurangan pembelian obligasi.

Sontak pasar keuangan terguncang hebat, termasuk di Indonesia. Investor seperti kebingungan. Bergerak kesana kemari, ke luar masuk sambil terus mencari makna yang pasti dari pernyataan tersebut. Sampai akhirnya di September 2013, pasar dibuat lega dengan kepastian tappering benar akan terjadi tapi diundur sambil melihat perkembangan ekonomi AS.

Tapi itu tidak mengubah kenyataan kalau dana asing yang selama ini bertengger di banyak negara berkembang harus kembali ke pangkuan orang tuanya, negeri Paman Sam. Rupiah seketika anjlok melewati Rp 10.000 per dolar AS kemudian sampai ke Rp 12.000 per dolar AS.

Pantas banyak orang menyebut 'kiamat telah datang'. Anjloknya rupiah membuat harga barang impor ikut melonjak. Bayangkan, Indonesia di tengah pembangunan hebat membutuhkan bahan baku dan penolong dari negara lain. Kemudian korporasi dengan utang segunung dalam valuta asing. Belum lagi para orang kaya baru yang gemar mengkonsumsi barang branded. Banyak dari mereka yang terlibat mengibarkan bendera putih.

Pemerintah ada. Negara hadir tapi tekanan ini terlalu kuat. Pemerintah lewat Menteri Keuangan Chatib Basri sibuk membenahi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar defisitnya tidak melebihi 3% dari PDB.

Dulu ada persoalan yang namanya Bahan Bakar Minyak (BBM). Komoditas politik musiman. Selalu hadir setiap tahun, setiap kali ada kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar rupiah. Dibahas antara pemerintah dan DPR untuk menentukan BBM jenis premium dan solar naik atau tidak. Sekarang tentu dramanya sudah tidak ada karena berganti sistem.

Persoalan melebar ke inflasi yang diproyeksi bisa mencapai 9%. Ini artinya para bunda di rumah akan menjerit karena harga beras, cabai dan daging serta bumbu dapur ikut melonjak. Akhirnya pemerintah juga harus memikirkan nasib rakyat miskin yang terdampak. Untung ada jurus bernama Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Pemerintah juga menahan laju impor lewat berbagai kebijakan agar kebutuhan akan valas menjadi berkurang dan BI tidak kehabisan asupan karean keseringan berada di pasar.

Bank Indonesia (BI) tugasnya adalah menjaga inflasi dan nilai tukar rupiah agar tetap stabil. Agus Martowardojo, yang baru saja dilantik sebagai Gubernur harus mengambil sikap dengan menaikkan suku bunga acuan 25 bps. Padahal jabatannya baru seusia jagung.

Agus sepertinya tak mau kompromi menahan inflasi dan laju nilai tukar. Bahkan di Agustus 2013, Agus Marto menggelar dua kali RDG dalam sebulan, dan memutuskan menaikkan lagi bunga acuan tepatnya pada 29 Agustus 2013 setelah pada Juli BI Rate telah naik 50 bps. Totalnya suku bunga dinaikkan sebesar 175 basis poin, dalam rentang 8 bulan.

Akhir dari kisah ini cukup baik. Regulator kembali punya kesempatan untuk mendorong ekonomi lebih tinggi. Layaknya orang Indonesia pada umumnya, ini kemudian menjadi evaluasi untuk melahirkan kebijakan yang lebih baik. Terutama tidak terlena ketika berada di atas angin.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan asumsi suku bunga Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun pada tahun 2022 akan mencerminkan kebutuhan pembiayaan APBN serta risiko ketidakpastian pasar keuangan global.

Adapun tingkat bunga SUN 10 tahun pada tahun 2022 diproyeksikan sebesar 6,32 - 7,27%

Salah satu risiko yang harus diwaspadai, kata Sri Mulyani yakni tingkat imbal hasil SUN adalah perubahan kebijakan negara maju, khususnya Amerika Serikat.

"Kita pernah belajar dari fenomena terdahulu seperti taper tantrum di tahun 2013, dimana ekspektasi normalisasi kebijakan moneter AS dapat mendorong pembalikan arus modal dari negara berkembang," jelas Sri Mulyani dalam rapat paripurna, Senin (31/5/2021).

Pemerintah, lanjut dia, akan terus bersinergi dengan otoritas moneter dan jasa keuangan dalam melakukan pemantauan dan mengambil langkah-langkah kebijakan secara antisipatif dan terkoordinasi.

Salah satu langkah sinergi dengan otoritas lain seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah terkait dengan pendalaman dan pengembangan pasar keuangan.

Pemerintah sepakat bahwa pasar keuangan domestik yang dalam, aktif, dan likuid sangat diperlukan dalam meningkatkan stabilitas pasar yang pada gilirannya akan menurunkan yield SUN.

"Pasar keuangan yang dalam, aktif, dan likuid akan menjadi sumber pembiayaan yang stabil, efisien, dan berkesinambungan. Hal ini akan meminimalkan dampak risiko volatilitas aliran modal investor asing terhadap yield SUN," jelas Sri Mulyani.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga mewaspadai adanya tapering off atau pengurangan stimulus berupa pembelian surat berharga di pasar surat utang yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed.

Perry menjelaskan Indonesia memiliki peluang besar dalam mendorong pemulihan ekonomi, karena permintaan terutama dari Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok akan mendorong kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi.

Kendati demikian, ketidakpastian juga masih akan berlangsung ditengah The Fed yang tahun ini sudah mengungumkan belum akan melakukan tapering. Namun, dalam pengambilan kebijakannya, BI tetap memperhitungkan The Fed akan mengubah kebijakan moneternya tahun depan.

"Di pasar keuangan memang terjadi kenaikan US Treasury yield karena stimulus fiskal yang besar US$ 1,9 triliun. Ketidakpastian ini masih berlangsung meskipun sudah sedikit mereda karena kejelasan arah The Fed yang tahun ini belum akan melakukan tapering," jelas Perry.

"Namun tahun depan, kita masih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan bahwa The Fed akan mulai mengubah kebijakan moneternya, mulai mengurangi intervensi likuiditas bahkan melakukan lakukan pengetatan dan kenaikan suku bunga," kata Perry melanjutkan.

Sehingga tahun depan, kata Perry di pasar keuangan perlu memastikan agar stabilitas ekonomi terutama moneter itu terbaik dan terutama perkembangan yield SBN dan nilai tukar rupiah yang perlu diwaspadai. "Jadi untuk 2022 perlu kita antisipasi hal-hal itu," ujarnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular