
Seramnya Taper Tantrum Sampai Sri Mulyani Mulai Ancang-ancang
![[DALAM] Ancaman Ekonomi RI versi Sri Mulyani](https://awsimages.detik.net.id/visual/2021/03/15/dalam-ancaman-ekonomi-ri-versi-sri-mulyani_169.jpeg?w=900&q=80)
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan asumsi suku bunga Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun pada tahun 2022 akan mencerminkan kebutuhan pembiayaan APBN serta risiko ketidakpastian pasar keuangan global.
Adapun tingkat bunga SUN 10 tahun pada tahun 2022 diproyeksikan sebesar 6,32 - 7,27%
Salah satu risiko yang harus diwaspadai, kata Sri Mulyani yakni tingkat imbal hasil SUN adalah perubahan kebijakan negara maju, khususnya Amerika Serikat.
"Kita pernah belajar dari fenomena terdahulu seperti taper tantrum di tahun 2013, dimana ekspektasi normalisasi kebijakan moneter AS dapat mendorong pembalikan arus modal dari negara berkembang," jelas Sri Mulyani dalam rapat paripurna, Senin (31/5/2021).
Pemerintah, lanjut dia, akan terus bersinergi dengan otoritas moneter dan jasa keuangan dalam melakukan pemantauan dan mengambil langkah-langkah kebijakan secara antisipatif dan terkoordinasi.
Salah satu langkah sinergi dengan otoritas lain seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah terkait dengan pendalaman dan pengembangan pasar keuangan.
Pemerintah sepakat bahwa pasar keuangan domestik yang dalam, aktif, dan likuid sangat diperlukan dalam meningkatkan stabilitas pasar yang pada gilirannya akan menurunkan yield SUN.
"Pasar keuangan yang dalam, aktif, dan likuid akan menjadi sumber pembiayaan yang stabil, efisien, dan berkesinambungan. Hal ini akan meminimalkan dampak risiko volatilitas aliran modal investor asing terhadap yield SUN," jelas Sri Mulyani.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga mewaspadai adanya tapering off atau pengurangan stimulus berupa pembelian surat berharga di pasar surat utang yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed.
Perry menjelaskan Indonesia memiliki peluang besar dalam mendorong pemulihan ekonomi, karena permintaan terutama dari Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok akan mendorong kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi.
Kendati demikian, ketidakpastian juga masih akan berlangsung ditengah The Fed yang tahun ini sudah mengungumkan belum akan melakukan tapering. Namun, dalam pengambilan kebijakannya, BI tetap memperhitungkan The Fed akan mengubah kebijakan moneternya tahun depan.
"Di pasar keuangan memang terjadi kenaikan US Treasury yield karena stimulus fiskal yang besar US$ 1,9 triliun. Ketidakpastian ini masih berlangsung meskipun sudah sedikit mereda karena kejelasan arah The Fed yang tahun ini belum akan melakukan tapering," jelas Perry.
"Namun tahun depan, kita masih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan bahwa The Fed akan mulai mengubah kebijakan moneternya, mulai mengurangi intervensi likuiditas bahkan melakukan lakukan pengetatan dan kenaikan suku bunga," kata Perry melanjutkan.
Sehingga tahun depan, kata Perry di pasar keuangan perlu memastikan agar stabilitas ekonomi terutama moneter itu terbaik dan terutama perkembangan yield SBN dan nilai tukar rupiah yang perlu diwaspadai. "Jadi untuk 2022 perlu kita antisipasi hal-hal itu," ujarnya.
(mij/mij)[Gambas:Video CNBC]