
Jokowi Haramkan Proyek PLTU Baru Masuk di RUPTL

Jakarta, CNBC Indonesia - Penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik terus mendapatkan tekanan dunia karena dianggap menyumbang emisi karbon yang berdampak pada perubahan iklim. Di sisi lain, transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) demi menekan emisi karbon kian masif digalakkan dunia.
Merespons tren dunia yang mulai meninggalkan PLTU batu bara ini, pemerintah Indonesia pun turut berpartisipasi dengan cara menekan jumlah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara baru ke depannya.
Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan agar tidak ada lagi tambahan proyek PLTU batu bara, kecuali yang sudah memasuki tahap kepastian pendanaan (financial closing) atau proses konstruksi.
Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan (Gatrik) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan arahan Presiden Jokowi tersebut terlontar dalam Rapat Terbatas 11 Mei 2021 lalu.
Untuk mengikuti arahan tersebut, maka di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030 yang tengah disusun saat ini, menurutnya usulan pembangunan PLTU baru akan ditiadakan.
"Kalaupun ada proyek-proyek di RUPTL, itu berarti meneruskan yang sudah terlanjur ada, dan berstatus konstruksi dan minimal financial close," paparnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Kamis (27/05/2021).
Tujuan akhirnya, menurut Rida, adalah mencapai nol emisi bersih (net zero emission).
Dia mengatakan, porsi pembangkit EBT pada RUPTL 2021-2030 juga akan meningkat dibandingkan dengan RUPTL 2019-2028.
Rida menjelaskan, di dalam RUPTL 2019-2028 yang saat ini berlaku, porsi pembangkit EBT sebesar 30% dan pembangkit fosil 70%. Porsi ini menurutnya akan diubah menjadi 48% pembangkit EBT dan 52% pembangkit fosil dalam RUPTL 2021-2030 yang tengah disusun.
"Sekarang susun RUPTL yang lebih hijau dengan porsi pembangkit 48% EBT dan 52% fosil. Besok porsi EBT jadi lebih besar dengan bangga dan rendah hati RUPTL ini lebih hijau, pro lingkungan," jelasnya.
Seperti diketahui, pemerintah memiliki target EBT sebesar 23% pada tahun 2025 mendatang. Di sektor kelistrikan menurutnya ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mengejar target tersebut.
Pertama, mendahulukan pembangkit EBT yang paling murah sehingga tidak terlalu berpengaruh pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP). Kedua, mendorong pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
"Teknologi makin mature, berkembang maka akan manfaatkan lebih masif dengan memanfaatkan luas permukaan air," tuturnya.
Ketiga, PLTU Cofiring didorong dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Keempat, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dievaluasi agar target mulai beroperasi (Commercial Operation Date/ COD) lebih realistis.
"Program dedieselisasi dengan pembangkit EBT pembangkit yang tersebar di pelosok nusantara, 5.200 unit ada 2 Giga Watt kecil-kecil memang tapi ini dampak ke BPP, kita konversi ke pembangkit EBT," ungkapnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Masih 'Kebanjiran' Listrik PLTU Hingga 2027, Ini Buktinya
