Ini Perjalanan PLN Pensiunkan PLTU Batu Bara, Dimulai 2025

Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) berencana menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara sebagai upaya menuju netral karbon (carbon neutral) pada 2060.
Darmawan Prasodjo, Wakil Direktur Utama PLN, mengatakan menuju netral karbon di 2060 ini, PLN akan mulai menggantikan PLTU dan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) dengan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebesar 1,1 Giga Watt (GW) pada 2025 mendatang.
"Kami bangun time line, yakni 2025-2030 sudah haramkan PLTU baru, bahkan diharapkan di 2025 ada replacement (penggantian) PLTU dan PLTMG dengan pembangkit listrik EBT," paparnya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Kamis (27/05/2021).
Setelah itu, pihaknya menargetkan akan mempensiunkan PLTU Subcritical tahap I dengan kapasitas mencapai 1 GW pada 2030.
"Di 2030 retirement (pensiun) subcritical tahap pertama 1 GW," imbuhnya.
Lalu, dilanjutkan mempensiunkan PLTU Subcritical tahap II dengan kapasitas 9 GW pada 2035. Dan pada 2040 ditargetkan bisa mempensiunkan PLTU Supercritical sebesar 10 GW.
Sementara PLTU Ultra Supercritical tahap I ditargetkan bisa dipensiunkan pada 2045 sebesar 24 GW dan PLTU Ultra Supercritical terakhir sebesar 5 GW bisa dipensiunkan pada 2055.
"Retirement PLTU Ultra Supercritical secara bertahap bisa dilaksanakan dari 2045-2056, dan pada akhirnya bisa mencapai carbon neutral pada 2060," ujarnya.
Dia mengatakan, untuk menggantikan PLTU berbasis batu bara yang bisa menopang beban dasar (base load), salah satu caranya yaitu membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berbasis baterai.
Menurutnya, biaya pembangkitan listrik dari PLTS berbasis baterai lithium ion atau feronikel kini sudah cukup rendah, yakni 4 sen dolar per kilo Watt hour (kWh), dan biaya dari baterai sekitar 13 sen dolar per kWh, sehingga biaya listrik dari PLTS berbasis baterai saat ini sekitar 17-18 sen dolar per kWh.
Namun, menurutnya kini ada inovasi PLTS baru dengan biaya lebih murah, yakni dengan teknologi baterai berbasis redox dari vanadium atau cerium. Biaya pembangkitan listrik bisa 2,5-3 sen dolar per kWh, lalu ditambah biaya baterai berbasis aliran redox 3,5 sen dolar per kWh, sehingga total biaya hanya 6-7 sen dolar per kWh.
"Sehingga, 2025-2026 diharapkan ada pembangkit listrik berbasis EBT base load masuk. Tapi PLN perlu dukungan, nggak bisa dilakukan PLN sendiri," ujarnya.
Dia menjelaskan, produksi energi nasional per hari ini 300 Tera Watt hours (TWh). Lalu, pada beberapa tahun mendatang diperkirakan ada tambahan 120 TWh dari proyek PLTU 35 GW.
Adapun proyeksi produksi energi pada 2060 mencapai 1.800 TWh, sehingga ada kebutuhan tambahan produksi sekitar 1.380 TWh. Kebutuhan tambahan produksi listrik itu akan diusahakan diisi dengan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan.
[Gambas:Video CNBC]
Waduh, 34 Proyek Pembangkit Listrik RI Macet
(wia)