Blak-blakan Prof Romli Soal KPK Era Firli Hingga Polemik TWK

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
21 May 2021 17:22
Romli Atmasasmita
Foto: Romli Atmasasmito (Dokumentasi www.detik.com)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pakar hukum pidana dari Universitas Padjajaran Prof. Romli Atmasasmita memiliki penilaian terhadap tersendiri terhadap dinamika yang melingkupi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini.

Dalam wawancara khusus dengan CNBC Indonesia di Jakarta, Jumat (21/5/2021), Romli mengungkapkan situasi KPK saat ini merupakan masalah internal lembaga yang selama ini tidak tertangani.

"KPK dulu rupanya kurang care urusan internal. Kurang perhatian juga kalau ada masalah di dalam diumpetin, ditutup-tutupin, jadi orang nggak tahu kan. Konferensi pers ini kan selama ini urusan koruptor, nggak pernah bicara internal. Nah ini refleksi dari kondisi internal yang telah terjadi tapi tidak terbuka, tidak transparan. Hari ini meledak ceritanya. Meledaknya karena Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) kan begitu," ujarnya.

Menurut Romli, apabila tidak ada TWK, maka publik tidak akan mengetahui kondisi internal KPK. Sebab, melalui TWK, diketahui 75 pegawai KPK, termasuk penyidik senior KPK Novel Baswedan, tidak memiliki wawasan kebangsaan yang baik.

"Nah ini kan berarti ada masalah di dalam. Kita ambil hikmahnya. Kalau nggak ada TWK kita nggak tahu di dalam itu siapa. Yang namanya Novel, orang Indonesia atau orang mana, kan kita nggak tahu. Nah ini kan masalah," ujar Romli.

"Jadi TWK itu jangan dikritik justru harusnya diapresiasi. Justru di situ kita tahu kok di lembaga yang paling hebat tapi kok di dalamnya ada orang-orang yang tidak hebat. Tidak hebat dalam segi loyalitas terhadap Pancasila, UUD 1945 itu gimana ceritanya? Pemahaman mereka gimana? Masa kalah sama anak SMA, guru honorer," lanjutnya.

Oleh karena itu, Guru Besar Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) itu bilang kalau TWK tidak bermaksud menyingkirkan orang-orang tertentu. Ini karena sebaliknya ada fakta 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK.

"Yang lain kan nggak ada masalah selebihnya kan lebih banyak. Jadi berarti ini ada masalah dengan yang 75, jangan di balik. Jadi sebetulnya ada masalah, yang selebihnya dianggap apa dong? Nah ini kan masalah. Jadi terbalik-balik logika berpikir kita gara-gara tadi gencaran-gencaran kritik pihak mereka yang tidak suka teman-temannya dikeluarin," kata Romli.



"Itu satu ya hikmahnya bahwa baru tahun ini di bawah kepemimpinan Firli terbuka masalah internal yang dulu kita nggak tahu. Jadi kita apresiasi justru yang dulu nggak pernah terbuka sekarang terbuka. Itulah cermin transparansi, akuntabilitas, itu semua ada di UU KPK," lanjutnya.

Ia menegaskan, masalah ASN sesungguhnya tidak hanya cerdas, tangguh, dan trengginas dalam menjalan tugas semata, melainkan memiliki loyalitas dan wawasan kebangsaan yang memadai. Romli bilang kalau syarat sumpah setia pada Pancasila dan UUD 1945 bagi mereka yang diangkat ASN bukan sekadar diucapkan, melainkan harus dihayati sepenuh hati.

"Hal ini disebabkan syarat itulah yang membuat ia menjadi benteng kepastian dan keadilan dan tumpuan harapan 260 juta rakyat. Semangat nasionalisme dalam pengabdian ASN nerupakan jaminan ketangguhannya memperjuangkan bangsa dan NKRI. Rapuhnya jiwa kebangsaan merupakan sinyal runtuhnya NKRI. Apalagi di tengah-tengah pergolakan ideologi khilafah dan terorisme untuk merebut kekuasaan saat ini maka syarat wawasan kebangsaan menjadi nomor satu dari semua syarat-syarat ASN yang diwajibkan," ujar Romli.

"Atas dasar hal tersebut maka KPK sebagai lembaga negara independen harus dicegah dari intervensi asing atau ideologi anti Pancasila dan dibatasi menggunakan dana-dana dari negara donor karena bukan sedikit membawa dampak pengaruhnya terhadap nasionalisme pegawai KPK," lanjutnya.

Kemudian, menurut Romli, masyarakat harus disuguhi KPK yang terbuka tidak hanya dari sisi urusan korupsi melainkan masalah internal. Misalnya ada pegawai yang kena sanksi, barang bukti yang hilang, hingga laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap KPK.

"Jadi kelihatan imbang. Kita memperlakukan sesuatu itu dengan objektif. Baik pihak luar yang nggak beres kita perlihatkan, kita buka, di dalam lembaga pun buka, jangan merasa aib. Itu di situ masyarakat mengkritisi, memberi masukan. Jadi ada objektivitas. Itu yang saya harapkan begitu," ujar Romli.

"Jadi dalam perjalanan KPK itu kalau KPK menggunakan pola-pola yang baru, selain konferensi pers, penayangan koruptor, keberhasilan mereka, mereka juga harus berani mengemukakan kekurangan mereka. Sehingga masyarakat bisa mengikuti, masyarakat tidak curiga ada apa sih ditutupi?," lanjutnya.


Dalam kesempatan itu, Romli menyinggung kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) yang melibatkan eks Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino.

Seperti diketahui, MK telah mengubah frasa Pasal 40 UU Nomor 19/2019 tentang KPK mengenai kepastian penyidikan dan penyelidikan, Selasa (4/5/2021). Perubahan itu hadir beberapa hari menjelang sidang perdana praperadilan yang melibatkan Lino.

MK melalui putusan atas perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 uji formil UU KPK mengubah frasa Pasal 40 ayat (1) dan (2) tentang jangka Waktu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) 2 Tahun Setelah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Menurut dia, kasus yang melibatkan RJ Lino harus dikritisi. Sebab, Romli mengaku mengetahui awal mula KPK menetapkan RJ Lino sebagai tersangka.

"Harusnya KPK menjelaskan kenapa jadi tersangka lagi? Itu konferensi pers jangan cuma bilang cukup bukti. Bukan itu masalahnya, itu di pengadilan kan, nantilah, tapi KPK menjelaskan kenapa orang yang lima tahun tiba dianggurkan tiba-tiba tahun 2021 dimulai lagi 2020, buron bukan, tersangka iya," ujar Romli.


"Kemarin kan sidang praperadilan, nah ini harus dijelaskan, KPK nggak boleh cuma bilang cukup bukti kok. Bukan itu. Masyarakat ingin tahu ada apa. Buat sejelas-jelasnya. Ini nggak pernah dilakukan. Mulai sekarang dengan Pak Firli mulai membuka, ada yang kecewa, ya sudah urusan dia," lanjutnya.



Romli juga bicara soal pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah mengomentari status kepegawaian 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK. Jokowi bilang hasil TWK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK baik terhadap individu-individu maupun institusi KPK. 



Kepala negara pun mengungkapkan kalau hasil TWK tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes. Kalau dianggap ada kekurangan, Jokowi berpendapat masih ada peluang untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan, dan perlu segera dilakukan langkah-langkah perbaikan pada level individual maupun organisasi.

Romli menilai Jokowi telah bersikap tepat sebagai kepala negara lantaran berada di tengah-tengah. Ia pun menyarankan agar pendidikan wawasan kebangsaan bagi ke-75 pegawai itu dilakukan sebagai jalan tengah.


"Setelah itu dites lagi sehingga kelihatan. Apakah 75 itu juga nggak lolos? Jadi kelihatan. Kehendak presiden diikuti, masalah kedinasan, kemudian tes lagi. Tapi jangan serta merta diangkat diaktifkan lagi. Kalau begitu bedanya apa dengan yang lalu, iya kan? Ini perlakuan," kata Romli.

"Kalau KPK didorong oleh mantan-mantan pimpinan KPK, BW (Bambang Widjojanto), LSM ICW, diaktifkan lagi, satu dia (Firli) melanggar UU. Kemudian dia tidak menghargai orang-orang yang lulus tes, tidak ada perlakuan yang sama di muka hukum, betul nggak? Itu harus ditekankan biar orang mengerti," lanjutnya.

Oleh karena itu, Romli mengingatkan KPK sekarang harus terbuka dalam segala hal baik seputar masalah korupsi maupun masalah internal. Sebab, KPK merupakan lembaga satu-satunya yang independen melebihi Polri dan Kejaksaan Agung.


"Dan juga kalau dia (KPK) terbuka begitu dibiasakan keterbukaan gitu kementerian/lembaga lain akan mengikuti, polisi juga terbuka, karena kan selalu ditutup-tutupi kalau masalah internal. Tapi masalah orang lain dia buka-buka. Nah ini nggak baik, sudah nggak benar," ujar Romli.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular