
Blak-blakan Prof Romli Soal KPK Era Firli Hingga Polemik TWK

Jakarta, CNBC Indonesia - Pakar hukum pidana dari Universitas Padjajaran Prof. Romli Atmasasmita memiliki penilaian terhadap tersendiri terhadap dinamika yang melingkupi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini.
Dalam wawancara khusus dengan CNBC Indonesia di Jakarta, Jumat (21/5/2021), Romli mengungkapkan situasi KPK saat ini merupakan masalah internal lembaga yang selama ini tidak tertangani.
"KPK dulu rupanya kurang care urusan internal. Kurang perhatian juga kalau ada masalah di dalam diumpetin, ditutup-tutupin, jadi orang nggak tahu kan. Konferensi pers ini kan selama ini urusan koruptor, nggak pernah bicara internal. Nah ini refleksi dari kondisi internal yang telah terjadi tapi tidak terbuka, tidak transparan. Hari ini meledak ceritanya. Meledaknya karena Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) kan begitu," ujarnya.
Menurut Romli, apabila tidak ada TWK, maka publik tidak akan mengetahui kondisi internal KPK. Sebab, melalui TWK, diketahui 75 pegawai KPK, termasuk penyidik senior KPK Novel Baswedan, tidak memiliki wawasan kebangsaan yang baik.
"Nah ini kan berarti ada masalah di dalam. Kita ambil hikmahnya. Kalau nggak ada TWK kita nggak tahu di dalam itu siapa. Yang namanya Novel, orang Indonesia atau orang mana, kan kita nggak tahu. Nah ini kan masalah," ujar Romli.
"Jadi TWK itu jangan dikritik justru harusnya diapresiasi. Justru di situ kita tahu kok di lembaga yang paling hebat tapi kok di dalamnya ada orang-orang yang tidak hebat. Tidak hebat dalam segi loyalitas terhadap Pancasila, UUD 1945 itu gimana ceritanya? Pemahaman mereka gimana? Masa kalah sama anak SMA, guru honorer," lanjutnya.
Oleh karena itu, Guru Besar Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) itu bilang kalau TWK tidak bermaksud menyingkirkan orang-orang tertentu. Ini karena sebaliknya ada fakta 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK.
"Yang lain kan nggak ada masalah selebihnya kan lebih banyak. Jadi berarti ini ada masalah dengan yang 75, jangan di balik. Jadi sebetulnya ada masalah, yang selebihnya dianggap apa dong? Nah ini kan masalah. Jadi terbalik-balik logika berpikir kita gara-gara tadi gencaran-gencaran kritik pihak mereka yang tidak suka teman-temannya dikeluarin," kata Romli.
"Itu satu ya hikmahnya bahwa baru tahun ini di bawah kepemimpinan Firli terbuka masalah internal yang dulu kita nggak tahu. Jadi kita apresiasi justru yang dulu nggak pernah terbuka sekarang terbuka. Itulah cermin transparansi, akuntabilitas, itu semua ada di UU KPK," lanjutnya.
Ia menegaskan, masalah ASN sesungguhnya tidak hanya cerdas, tangguh, dan trengginas dalam menjalan tugas semata, melainkan memiliki loyalitas dan wawasan kebangsaan yang memadai. Romli bilang kalau syarat sumpah setia pada Pancasila dan UUD 1945 bagi mereka yang diangkat ASN bukan sekadar diucapkan, melainkan harus dihayati sepenuh hati.
"Hal ini disebabkan syarat itulah yang membuat ia menjadi benteng kepastian dan keadilan dan tumpuan harapan 260 juta rakyat. Semangat nasionalisme dalam pengabdian ASN nerupakan jaminan ketangguhannya memperjuangkan bangsa dan NKRI. Rapuhnya jiwa kebangsaan merupakan sinyal runtuhnya NKRI. Apalagi di tengah-tengah pergolakan ideologi khilafah dan terorisme untuk merebut kekuasaan saat ini maka syarat wawasan kebangsaan menjadi nomor satu dari semua syarat-syarat ASN yang diwajibkan," ujar Romli.
"Atas dasar hal tersebut maka KPK sebagai lembaga negara independen harus dicegah dari intervensi asing atau ideologi anti Pancasila dan dibatasi menggunakan dana-dana dari negara donor karena bukan sedikit membawa dampak pengaruhnya terhadap nasionalisme pegawai KPK," lanjutnya.
Kemudian, menurut Romli, masyarakat harus disuguhi KPK yang terbuka tidak hanya dari sisi urusan korupsi melainkan masalah internal. Misalnya ada pegawai yang kena sanksi, barang bukti yang hilang, hingga laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap KPK.
"Jadi kelihatan imbang. Kita memperlakukan sesuatu itu dengan objektif. Baik pihak luar yang nggak beres kita perlihatkan, kita buka, di dalam lembaga pun buka, jangan merasa aib. Itu di situ masyarakat mengkritisi, memberi masukan. Jadi ada objektivitas. Itu yang saya harapkan begitu," ujar Romli.
"Jadi dalam perjalanan KPK itu kalau KPK menggunakan pola-pola yang baru, selain konferensi pers, penayangan koruptor, keberhasilan mereka, mereka juga harus berani mengemukakan kekurangan mereka. Sehingga masyarakat bisa mengikuti, masyarakat tidak curiga ada apa sih ditutupi?," lanjutnya.
