
Utang BUMN Selangit, Ini Risiko Mengerikan yang Mengintai!

Setelah pemerintah tahun lalu fokus untuk belanja perlindungan sosial sebesar Rp 215,65 triliun, tahun ini pos anggaran tersebut dipangkas 27% menjadi Rp 157,41 triliun.
Anggaran yang ditingkatkan adalah untuk pos program prioritas. Pos ini tahun lalu mendapat anggaran sebesar Rp 65,22 triliun tahun ini meningkat hampir dua kali lipat menjadi Rp 122,44 triliun. Anggaran untuk infrastruktur pun ditingkatkan hingga dobel digit.
Pemerintah berupaya untuk membangkitkan ekonomi lewat proyek infrastruktur. BUMN kemungkinan besar masih akan dlibatkan untuk menggarap berbagai proyek strategis. Apabila pembiayaannya menggunakan utang lagi ini malah akan semakin meningkatkan risiko utang yang sudah menggunung.
Kalaupun menggunakan alternatif Souvereign Wealth Fund (INA) sebagai pembiayaan non-utang tetap saja belum mampu mengcover banyak. Terwujudnya pembiayaan non-utang lewat INA masih membutuhkan waktu yang panjang.
Apalagi modal INA sendiri masih relatif kecil dibandingkan dengan utang BUMN Karya. Berdasarkan laporan Fitch, total utang perusahaan konstruksi BUMN lebih dari Rp 170 triliun per akhir September 2020 dan utang PT Pertamina (Persero) sekitar Rp 300 triliun per akhir Juni 2020.
Hal yang harus diwaspadai untuk tahun ini adalah risiko ketidakpastian kebijakan moneter The Fed. Tren pengangguran di AS terus menurun. Namun belum pulih ke level sebelum pandemi.
Hanya saja inflasi secara konsisten terus meningkat sepanjang tahun ini. Inflasi AS di bulan April tercatat mencapai 4.2% (yoy). Ini merupakan peningkatan tahunan tertinggi sejak satu dekade terakhir.
Dalam risalah rapat komite pengambil kebijakan The Fed yang dirilis belum lama ini, anggota komite berencana akan membahas tentang pengaturan laju pembelian aset oleh The Fed yang selama ini dikenal dengan quantitative easing (QE).
Ini seolah menandakan bahwa The Fed bakal bersiap untuk mengambil langkah menyedot likuiditas yang berlimpah dari pasar (tapering) lebih awal dari yang diperkirakan. Sinyal ini jika semakin terlihat dikhawatirkan bakal menyebabkan fenomena enam tahun silam terjadi.
Ada pembalikan modal dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang bakal menekan nilai tukar rupiah. Depresiasi rupiah terhadap greenback tentu saja memberikan dampak negatif bagi perusahaan BUMN yang memiliki eksposur ULN tinggi, apalagi kalau kapasitas hedging-nya tidak mampu mencakup besarnya utang.
Jelas ini adalah risiko yang harus diwaspadai benar oleh pemerintah. Walaupun BUMN statusnya korporasi, tetapi jika untuk hidup saja mengandalkan suntikan dari APBN maka sangat disayangkan karena anggaran yang terbatas yang harusnya dialokasikan untuk peningkatan kesejahateraan masyarakat justru digunakan untuk menghidupi BUMN yang seharusnya menjadi motor penggerak roda perekonomian.
(twg/twg)[Gambas:Video CNBC]