Harga Batu Bara Membubung, Pengusaha Masih Ogah Hilirisasi?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
19 May 2021 15:50
Bongkar Muat Batu Bara
Foto: Bongkar Muat Batu Bara di Terminal Tanjung Priok. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Para pengusaha tambang batu bara berbahagia memasuki kuartal II ini, terutama karena harga batu bara masih menunjukkan tren positif, bahkan harga batu bara sempat menembus US$ 100 per ton pada pekan lalu, tepatnya US$ 104,65 pada Kamis (14/05/2021), tertinggi selama 2,5 tahun terakhir.

Momen kenaikan harga ini seharusnya bisa dijadikan saat yang tepat bagi pengusaha untuk berinvestasi di sektor hilir tambang. Apalagi kini pemerintah sedang menggencarkan program hilirisasi tambang, termasuk di sektor batu bara. Namun ternyata, momen kenaikan harga ini tak lantas membuat pengusaha serta merta mengalokasikan keuntungannya untuk berinvestasi di sektor hilir.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengakui tren kenaikan harga pada kuartal II ini di luar kebiasaan. Menurutnya, harga batu bara biasanya akan turun pada kuartal II.

"Kalau pengusaha senang banget, tren kuartal II biasanya turun, tapi ini masih meningkat, ini kan berkah," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (19/05/2021).

Namun menurutnya, kenaikan harga batu bara ini tidak bisa serta merta membuat penambang berinvestasi di sektor hilir batu bara.

Hendra menyebut, investasi di sektor hilir sangat mahal dan merupakan investasi jangka panjang sampai dengan 30 tahun ke depan, sehingga banyak sekali faktor yang mempengaruhi.

Perangkat regulasi berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan aturan turunan dari UU No 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) juga belum selesai. Dia pun menyebut, investasi di sektor hilir masih kurang ekonomis.

"Kalau ekonomis, orang akan berlomba-lomba. Hilirisasi ini banyak faktor yang harus dilihat, banyak sekali," dalihnya.

Salah satu proyek hilirisasi batu bara yakni berupa gasifikasi batu bara, di mana batu bara kalori rendah akan diolah menjadi Dimethyl Ether (DME) untuk substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG). Proyek ini menurutnya cukup sulit dijalankan bagi pengusaha batu bara.

"Memproduksi bahan kimia ini bukan ilmunya batu bara, penambang tahunya menambang, tapi kita diminta produksi bahan kimia substitusi LPG," tuturnya.

Dia pun mengatakan belum adanya peraturan pelaksana terkait hilirisasi batu semakin menyulitkan pengusaha untuk berinvestasi karena terkait dengan kepastian insentif dan lainnya.

"Belum ada detail pelaksanaannya, termasuk berapa insentif dan dukungan, off taker belum ada, kita baru akan mulai, nggak bisa compare dengan China yang sudah siapkan jauh beberapa tahun sebelumnya," jelasnya.

Meski masih banyak tantangan di sektor hilir, namun menurutnya pengusaha batu bara tetap mendukung dan berkomitmen untuk hilirisasi.

"Perusahaan tetap komitmen dukung hilirisasi batu bara," ujarnya.

General Manager dan External Affairs PT Arutmin Indonesia Ezra Sibarani mengakui kenaikan harga batu bara memberikan keuntungan untuk perusahaan. Namun menurutnya, di tengah lonjakan harga saat ini, perusahaan masih belum memutuskan untuk menaikkan produksi atau tidak.

"Kami masih mempertimbangkan apakah akan menambah produksi untuk ekspor atau tidak," ungkapnya.

Untuk hilirisasi, menurutnya saat ini Arutmin masih dalam proses kajian kelayakan yang lebih detail.

"Dan penjajakan dengan mitra, kerja sama yang akan bersama-sama mewujudkan proyek ini," tuturnya.

Sementara itu, Febriati Nadira, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk (ADRO) menyampaikan, kenaikan harga batu bara adalah sesuatu hal yang tidak bisa dikontrol.

Oleh karena itu, Adaro menurutnya akan fokus pada keunggulan operasional dan bisnis inti, meningkatkan efisiensi dan produktivitas operasi, menjaga kas dan mempertahankan posisi keuangan yang solid di tengah situasi sulit yang berdampak terhadap sebagian besar dunia usaha.

Lebih lanjut dia mengatakan, Adaro juga akan terus mengikuti perkembangan pasar dengan tetap menjalankan kegiatan operasi sesuai rencana di tambang-tambang milik perusahaan dengan terus berfokus untuk mempertahankan margin yang sehat, serta keberlanjutan pasokan ke pelanggan.

"Adaro mendukung rencana pemerintah untuk hilirisasi batu bara. Adaro saat ini masih melakukan kajian gasifikasi batu bara, termasuk nota kesepahaman dengan Pertamina," ungkapnya.

Meski fokus Adaro juga menyesuaikan dengan program pemerintah, yakni proyek gasifikasi untuk memproduksi DME guna mengurangi impor LPG, namun menurutnya Adaro masih terbuka untuk memproduksi produk lainnya.

"Kami masih terbuka akan kemungkinan memproduksi produk lainnya seperti metanol, olefin, dan lain-lain sesuai dengan keperluan pasar," ujarnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular