
Harga Batu Bara Membubung, Pengusaha Masih Ogah Hilirisasi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Para pengusaha tambang batu bara berbahagia memasuki kuartal II ini, terutama karena harga batu bara masih menunjukkan tren positif, bahkan harga batu bara sempat menembus US$ 100 per ton pada pekan lalu, tepatnya US$ 104,65 pada Kamis (14/05/2021), tertinggi selama 2,5 tahun terakhir.
Momen kenaikan harga ini seharusnya bisa dijadikan saat yang tepat bagi pengusaha untuk berinvestasi di sektor hilir tambang. Apalagi kini pemerintah sedang menggencarkan program hilirisasi tambang, termasuk di sektor batu bara. Namun ternyata, momen kenaikan harga ini tak lantas membuat pengusaha serta merta mengalokasikan keuntungannya untuk berinvestasi di sektor hilir.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengakui tren kenaikan harga pada kuartal II ini di luar kebiasaan. Menurutnya, harga batu bara biasanya akan turun pada kuartal II.
"Kalau pengusaha senang banget, tren kuartal II biasanya turun, tapi ini masih meningkat, ini kan berkah," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (19/05/2021).
Namun menurutnya, kenaikan harga batu bara ini tidak bisa serta merta membuat penambang berinvestasi di sektor hilir batu bara.
Hendra menyebut, investasi di sektor hilir sangat mahal dan merupakan investasi jangka panjang sampai dengan 30 tahun ke depan, sehingga banyak sekali faktor yang mempengaruhi.
Perangkat regulasi berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan aturan turunan dari UU No 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) juga belum selesai. Dia pun menyebut, investasi di sektor hilir masih kurang ekonomis.
"Kalau ekonomis, orang akan berlomba-lomba. Hilirisasi ini banyak faktor yang harus dilihat, banyak sekali," dalihnya.
Salah satu proyek hilirisasi batu bara yakni berupa gasifikasi batu bara, di mana batu bara kalori rendah akan diolah menjadi Dimethyl Ether (DME) untuk substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG). Proyek ini menurutnya cukup sulit dijalankan bagi pengusaha batu bara.
"Memproduksi bahan kimia ini bukan ilmunya batu bara, penambang tahunya menambang, tapi kita diminta produksi bahan kimia substitusi LPG," tuturnya.
Dia pun mengatakan belum adanya peraturan pelaksana terkait hilirisasi batu semakin menyulitkan pengusaha untuk berinvestasi karena terkait dengan kepastian insentif dan lainnya.
"Belum ada detail pelaksanaannya, termasuk berapa insentif dan dukungan, off taker belum ada, kita baru akan mulai, nggak bisa compare dengan China yang sudah siapkan jauh beberapa tahun sebelumnya," jelasnya.
Meski masih banyak tantangan di sektor hilir, namun menurutnya pengusaha batu bara tetap mendukung dan berkomitmen untuk hilirisasi.
"Perusahaan tetap komitmen dukung hilirisasi batu bara," ujarnya.
