
Harga Tembaga Membubung, Bagaimana Dampaknya ke Freeport?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga tembaga tengah membubung tinggi di tengah pasokan yang menipis. Pada akhir pekan lalu, Jumat (14/05/2021), harga tembaga di London Metal Exchange (LME) tercatat mencapai US$ 10.212 per metrik ton (MT).
Bahkan, harga tembaga ini digadang-gadang berpotensi bisa menyentuh US$ 20.000 per MT di 2025, berdasarkan analisis Bank of America (BofA), seperti dilansir dari CNBC International.
Kenaikan harga tembaga ini tentunya juga bakal menguntungkan produsen tembaga, salah satunya PT Freeport Indonesia.
Lalu, bagaimana dampak kenaikan harga tembaga kepada Freeport?
Juru Bicara PT Freeport Indonesia (PTFI) Riza Pratama mengatakan, perusahaan pada tahun ini memang menargetkan peningkatan produksi konsentrat tembaga dibandingkan tahun lalu. Namun, peningkatan target produksi ini menurutnya lebih karena fase meningkatnya operasional tambang bawah tanah.
"Produksi kami tahun ini targetnya lebih besar dari tahun lalu karena kami ramp up operasi tambang bawah tanah," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Senin (17/05/2021).
Freeport menargetkan produksi tembaga sekitar 1,4 miliar pon pada tahun ini, lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada 2020 yang hanya 800 juta pon.
"Pada tahun ini produksi tembaga ditargetkan mencapai 1,4 miliar pon," ujarnya.
Sementara untuk emas, menurutnya target produksi pada tahun ini dipatok 1,4 juta ons, naik hampir dua kali lipat dari tahun lalu yang sebesar 800 ribu ons.
Berdasarkan data Freeport McMoran, produksi bijih tembaga PT Freeport Indonesia dari Grasberg Block Cave dan tambang bawah tanah Deep Mill Level Zone (DMLZ) diperkirakan mencapai 98.5000 metrik ton bijih per hari.
Meningkatnya produksi tembaga dan emas pada tahun ini menurutnya akan berdampak pada penerimaan negara, terutama dari sisi dividen yang akan dibagikan.
"Tentunya dividen yang dibayarkan kepada pemerintah akan lebih besar," imbuhnya.
Sementara dari sisi kenaikan harga, menurutnya harga mineral selalu mengalami siklus (cycle) dan saat ini tengah menghadapi super cycle (super siklus).
Khusus untuk komoditas tembaga, menurutnya banyak produsen yang berhenti berproduksi, karena pandemi Covid-19. Sementara permintaan terus naik seiring dengan kebutuhan untuk kendaraan listrik.
"Demand tembaga terus naik seiring peningkatan produksi kendaraan listrik dan renewable power plants yang menggunakan tembaga 4-5 kali lipat dibanding kendaraan dan pembangkit konvensional," ungkapnya.
Dalam sebuah catatan pada Selasa (04/05/2021), ahli strategi komoditas Bank of America Michael Widmer menyoroti persediaan yang diukur dalam ton sekarang berada pada level yang terlihat 15 tahun lalu, menyiratkan bahwa stok saat ini hanya mencakup sekitar tiga minggu permintaan. Ini terjadi ketika ekonomi global mulai terbuka dan meningkat.
"Terkait dengan itu, kami memperkirakan defisit pasar tembaga, dan persediaan menurun lebih lanjut, tahun ini dan tahun depan," kata Widmer, seperti dikutip dari CNBC International.
Widmer juga menggarisbawahi bahwa peningkatan volatilitas akibat turunnya persediaan bukan tanpa preseden, karena hal ini pernah terjadi pada komoditas nikel di mana terjadi kekurangan stok nikel di gudang LME pada tahun 2006/2007, sehingga mendorong harga nikel melesat lebih dari 300%.
Mengingat lingkungan fundamental dan persediaan yang menipis, Widmer memperkirakan bahwa harga tembaga mungkin akan melonjak menjadi US$ 13.000 per ton di tahun-tahun mendatang setelah menyentuh US$ 10.000 per ton pada awal Mei lalu untuk pertama kalinya dalam satu dekade.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Tembaga Pecah Rekor, RI Seharusnya Jadi Kaya Raya Lho
