Kala Bos Pertamina-PLN Blak-blakan Soal Harta Karun Energi RI

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
28 April 2021 05:40
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dalam acara New Energy Conference dengan Tema
Foto: Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dalam acara New Energy Conference dengan Tema

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia memiliki sumber 'harta karun' energi terbesar kedua di dunia, yakni panas bumi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia yakni mencapai 23.965,5 mega watt (MW), di bawah Amerika Serikat yang memiliki sumber daya sebesar 30.000 MW.

Namun sayangnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia masih minim, yakni baru 2.130,7 MW atau hanya 8,9% dari total sumber daya yang ada.

Lantas, apa saja yang menjadi penyebab pemanfaatan panas bumi di Tamah Air ini masih belum optimal?

Bos PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) pun turut bersuara terkait hal ini.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, masih minimnya pengembangan panas bumi terutama untuk pembangkit listrik atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) karena masih adanya masalah tarif listrik panas bumi.

Dia berpendapat, tarif yang ada saat ini tidak masuk ke dalam keekonomian proyek. Apalagi, imbuhnya, tarif listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) ini juga dikaitkan dengan biaya penyediaan produksi (BPP) listrik per wilayah, sehingga menyulitkan bagi pengembang untuk menyesuaikan dengan BPP tersebut.

Selain itu, sama halnya dengan sektor minyak dan gas bumi (migas), PLTP juga memerlukan kegiatan pengeboran di awal pengembangannya, sehingga membutuhkan investasi yang besar.

"Dalam 1-2 tahun ini tidak ada pembangunan baru (PLTP) karena masalah tarif. Tarif EBT dikaitkan BPP per wilayah, ini jadi stop. Perlu ada regulasi agar geothermal (panas bumi) masuk keekonomiannya dulu," ungkapnya dalam acara CNBC Energy Conference: Membedah Urgensi RUU Energi Baru dan Terbarukan, Senin (26/04/2021).

Di industri migas telah terdapat skema pengembalian biaya produksi oleh pemerintah kepada kontraktor atau produsen migas atau dikenal dengan istilah 'cost recovery'. Untuk itu, menurutnya skema yang sama perlu diterapkan di industri panas bumi. Tak mesti sama, namun bisa juga melalui ikut serta pemerintah dalam membiayai atau ikut mengebor panas bumi.

"Ini perlu terobosan seperti itu, pemerintah ada government drilling, sehingga potensi geothermal bisa dioptimalkan," ujarnya.

Menurutnya, PLTP merupakan salah satu sumber pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan yang bisa digunakan untuk menopang beban dasar (base load) seperti halnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Ke depannya, bila pemerintah ada rencana mengurangi PLTU, maka PLTU bisa cocok menggantikannya.

Berdasarkan data Pertamina, Pertamina kini mengoperasikan 672 MW PLTP dan Joint Operation Contract (JOC) PLTP 1.205 MW, dan dalam eksplorasi dan pengembangan sebesar 495 MW.

Halaman Selanjutnya >> Bos PLN Pun Bersuara

Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengakui ada permasalahan teknis dan komersial dari pemanfaatan panas bumi ini.

Beberapa proyek panas bumi dengan tarif listrik yang sudah ditetapkan dalam proses lelang dinilai tidak lagi ekonomis setelah dilakukannya proses eksplorasi dan ditemukannya cadangan panas bumi.

Oleh karena itu, pihaknya juga berupaya menyelesaikan isu ini dengan bantuan dari pemerintah, agar keekonomian proyek tetap terjaga dan tidak merugikan pihak lainnya.

"Kita selesaikan permasalahan komersial yakni di mana ada beberapa proyek dari panas bumi nggak ekonomis. Untuk itu, kita minta ada bantuan pemerintah, sehingga tarif dan keekonomian bisa dijaga," tuturnya dalam acara CNBC Energy Conference: Membedah Urgensi RUU Energi Baru dan Terbarukan, Senin (26/04/2021).

Lebih lanjut dia mengatakan, dalam proses lelang wilayah kerja panas bumi di masa lalu, harga listrik yang paling murah akan ditunjuk sebagai pemenang. Namun, begitu dilakukan sebuah perencanaan, mulai dari eksplorasi dan lainnya ternyata harga lelang tersebut kemurahan.

"Memang di dalam proses lelang di dulu masa lalu itu the lowest price winning, harga terendah yang jadi pemenangnya. Begitu dilakukan suatu perencanaan, eksplorasi dan lainnya, waduh ternyata harga yang dilelang kemurahan," ungkapnya.

Dampaknya, imbuh Darmawan, keekonomian proyek menjadi kurang bagus dan tak jarang proyek menjadi mangkrak. Pihaknya saat ini sedang mencoba mencari solusi untuk Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi yang sudah dilelang 10-15 tahun lalu itu.

"Ini semua sedang kita petakan, ini perjalanan bagaimana WKP dilelang sudah 10-15 tahun lalu nggak jalan-jalan, karena komersial jadi kurang bagus," paparnya.

Isu belum optimalnya pengembangan panas bumi ini juga menjadi pertanyaan salah satu anggota Komisi VII DPR RI, yakni Maman Abdurrahman. Dia mempertanyakan mengapa pengembangan PLTP saat ini agak "sunset"? Padahal beberapa tahun lalu pengembangan PLTP masih berjalan.

"Dulu geothermal oke, kok sekarang turun? Misal Peretamina produksi geothermal, siapa yang beli? kan PLN, seperti apa sih kondisi geothermal kita? Kok sekarang agak sunset?" tanyanya di dalam forum yang sama.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular