Menristek Sebut RUU EBT Harus Jawab Isu Harga EBT vs Fosil

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
23 April 2021 20:10
Bambang Brodjonegoro: Bio Energi Jadi Prioritas Pengembangan EBT (CNBC Indonesia TV)
Foto: Bambang Brodjonegoro: Bio Energi Jadi Prioritas Pengembangan EBT (CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah bersama dengan DPR RI saat ini tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru Terbarukan (EBT). Dengan adanya RUU EBT ini diharapkan nantinya akan memperbaiki iklim investasi di sektor EBT.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/ Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro berpandangan bahwa keberadaan RUU EBT ini bagus jika bisa menjawab gap permasalahan yang ada di sektor EBT, termasuk soal harga.

Dia pun berharap agar model bisnis dari EBT berbeda dengan model bisnis energi fosil.

"Kami melihat harus ada dua model pricing (harga) yang beda untuk fosil dan EBT. Kalau ada dua model, diharapkan percepatan bisa terjadi," ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Kamis (23/04/2021).

Dia menilai, selama ini yang menjadi penghalang atau berkurangnya minat investor atau bahkan BUMN untuk masuk ke EBT adalah terkait harga beli dari PLN. Sebagai satu-satunya pembeli listrik (dari pengembang listrik swasta) di Indonesia, PLN tentunya berorientasi pada upaya untuk menyehatkan kondisi perusahaan. Pada akhirnya, skema harga EBT sering dibandingkan dengan harga energi fosil seperti batu bara, BBM dan lainnya.

"Padahal untuk yang EBT boleh dibilang harus model pricing yang beda karena fosil misalnya batu bara investasinya nggak terlalu mahal," ujarnya.

Dari sisi investasi, imbuhnya, pembangkit EBT memang lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik berbasis energi fosil. Namun dari sisi operasional, biaya operasi pembangkit listrik berbasis EBT lebih murah dibandingkan energi fosil.

"Saya pikir keberadaan RUU EBT ini akan sangat baik apabila RUU benar-benar menjawab apa yang menjadi masalah atau gap di dunia energi terbarukan seperti soal model bisnisnya," ujarnya.

Selain itu, menurutnya di dalam RUU ini juga perlu ada penekanan mengenai dampak lingkungan. Saat melakukan perhitungan harga, aspek yang perlu dilihat juga adalah manfaat dari adanya EBT.

Tidak berhenti pada perhitungan rupiahnya saja, namun juga dihitung dampak lingkungan hidupnya. Karena menjadi kelebihan dari EBT adalah mendukung apa yang dicita-citakan Presiden yakni ekonomi hijau.

"Makanya carbon trading, carbon pricing, skemanya harus menjadi bagian dari bisnis model di energi terbarukan sehingga economic feasibility dari energi terbarukan bisa lebih menarik bagi para pengusaha," jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, jika hanya hitungan rupiah per kilo Watt hour (kWh) akan sulit karena energi terbarukan masih harus bersaing dengan energi fosil. Sehingga akan sangat sulit dalam beralih ke energi terbarukan.

"Kita nggak akan move on dari fosil, terus terlena. Kenapa nggak fosil aja, kita punya kalau habis kita beli mentalitas ini harus dikikis," tuturnya.

Menurutnya RUU EBT ini perlu memberikan penekanan pada aspek lingkungan hidup, disamping model bisnis yang harus dibuat berbeda. Nanti, imbuhnya, RUU ini juga harus memberikan keyakinan dari segi pemerintah.

"Karena mungkin PLN gak berani beli karena persyaratan shareholder jangan terlalu besar pembelian listriknya atau nanti dianggap melanggar hukum, kenapa ada listrik murah beli mahal," paparnya.

Dia menegaskan jika tidak ada UU yang memayungi, maka semua pihak akan main aman dengan membeli listrik yang paling murah di mana listrik yang paling murah saat ini adalah dari energi fosil.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Biar Bisa Jalan, Proyek EBT Dinilai Harus Masuk ke RUPTL

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular