2030 Harga Minyak US$ 40/Barel, Nasib RI Apa Kabar?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
19 April 2021 11:50
Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto
Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurang dari satu dekade lagi harga minyak mentah diramal jatuh ke US$ 40/barel. Konsultan energi global Wood MacKenzie mengungkapkan hal tersebut dalam laporan terbarunya. Hal tersebut dapat terjadi jika berbagai negara di dunia memegang teguh komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. 

Penurunan harga terjadi akibat terus berkurangnya permintaan. Menurut Wood Mackenzie, permintaan akan benar-benar berkurang pada tahun 2023. Permintaan akan turun dengan laju 2 juta barel per hari (bph) hingga mencapai 35 juta bph pada 2050. Angka ini setara dengan penurunan emisi karbon sebesar 60% dari level sekarang.

Konsumsi minyak mencapai rekor tertingginya yaitu 100 juta bph pada 2019 dan anjlok signifikan setahun setelahnya akibat pandemi Covid-19. Namun dengan adanya perbaikan prospek ekonomi tahun ini permintaan minyak diramal bakal rebound

Pada 2030 harga minyak Brent diperkirakan bakal turun ke US$ 40/barel atau anjlok lebih dari setengahnya dari rata-rata tahun ini di US$ 65/barel. Kemudian Brent akan kembali drop ke rentang US$ 10 - US$ 18 per barel dua dekade selanjutnya atau pada 2050.

Penurunan permintaan dan harga ini tentu saja akan berpengaruh pada perekonomian negara-negara eksportir. Namun tak akan terasa sangat signifikan bagi negara-negara anggota OPEC karena biaya produksinya yang terbilang rendah. 

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir harga minyak sempat dua kali jatuh ke level US$ 40/barel. Pertama adalah ketika harga tertekan oleh peningkatan signifikan produksi minyak AS pada 2013 yang berujung sampai titik terendahnya di awal tahun 2016. Kala itu harga minyak bahkan sempat ke bawah US$ 30/barel.

Kemudian tahun lalu ketika pandemi menghancurkan permintaan karena mobilitas publik yang tertekan harga Brent sempat turun ke bawah US$ 20/barel dan mencapai titik terendahnya hampir dalam 20 tahun terakhir.

Fluktuasi harga minyak dunia akan berpengaruh pada perekonomian nasional. Dampaknya akan ke mana-mana. Mulai dari neraca dagang, nilai tukar rupiah hingga ke fiskal. 

Anjloknya harga minyak terbukti berpengaruh positif terhadap nilai tukar rupiah. Hal ini terlihat jelas di tahun lalu. Harga minyak yang turun disertai dengan melemahnya permintaan membuat biaya impor menjadi lebih rendah. 

Defisit neraca dagang dan transaksi berjalan (CAD) menjadi menyempit sehingga nilai tukar rupiah sedikit tersokong fundamentalnya. Di sisi lain beban pemerintah untuk memberikan subsidi juga lebih ringan. 

Namun penurunan harga minyak juga berakibat negatif pada perkembangan kemandirian energi domestik. Sektor hulu migas menjadi semakin kurang menarik. Produksi terus menurun. Pendapatan dari pajak dan ekspor minyak pun ikut drop

Jadi, penurunan harga minyak mentah sebenarnya memberikan dampak yang positif sekaligus negatif bagi perekonomian RI yang selama ini masih sangat bergantung pada minyak mentah. 

Indonesia memang negara yang menyandang status sebagai net oil importer. Hal ini dikarenakan produksi dalam negeri yang terus menurun sementara kebutuhan meningkat pesat. Imbasnya, untuk memenuhi kebutuhan domestik harus bergantung pada impor yang setiap tahunnya lebih dari 700 ribu bph. 

Apabila ini tidak segera diatasi, maka dampak yang ditimbulkan sangatlah serius. Ekonom senior Faisal Basri mengatakan RI terancam defisit energi hingga US$ 80 miliar pada 2040 nanti. Jelas ini harus diantisipasi. 

Agar defisit energi tidak terjadi pemerintah perlu segera mengambil langkah strategis dan action plan yang jelas serta terukur. Diversifikasi energi adalah kunci untuk keamanan energi, sehingga perekonomian domestik juga tidak terlalu dipengaruhi lagi oleh volatilitas harga minyak dunia. 

Pada 2025 pemerintah merencanakan bahwa pada 2025 kebijakan bauran energi nasional akan didominasi oleh energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 31%. Ketergantungan pada energi fosil diturunkan dari yang sebelumnya >90% menjadi kurang dari 70%. 

Namun nyatanya progres diversifikasi energi ke arah yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan cenderung lambat. Hingga tahun 2019 saja pangsa penggunaan EBT masih di bawah 10%.

Untuk mencapai angka 15% saja rasanya sulit, apalagi mau dinaikkan menjadi tiga kali lipat dalam waktu kurang dari lima tahun, rasanya kok semakin berat. Ini menjadi tantangan sekaligus pekerjaan rumah yang besar bagi regulator. 

Menyusun skala prioritas berdasarkan potensi dan keunggulan yang dimiliki, menebar insentif yang tepat sasaran hingga memiliki kerangka dan tujuan yang sama serta koordinasi antara lembaga adalah kunci utama. 

Dari segi kebijakan fokus mendorong energi yang lebih hijau dan berkelanjutan harus menjadi prioritas tiga lembaga pemerintah yaitu Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN yang memang punya hajat langsung.

Seiring dengan pertumbuhan populasi dan membaiknya kinerja perekonomian, kebutuhan energi akan terus meningkat. Seharusnya kerangka berpikir untuk sembilan tahun ke depan harga minyak bukan lagi variabel yang berpengaruh signifikan terhadap perekonomian nasional.

Sulit memang, tapi harus dikejar dan diupayakan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Minyak Ambles, Nyaris Terendah dalam 2 Bulan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular