'Mudik Dilarang Tapi Wisata Dibuka, Pemerintah Tak Konsisten'

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
15 April 2021 15:42
Warga melakukan perjalanan dengan kereta api di Stasiun Senen
Foto: Warga melakukan perjalanan dengan kereta api di Stasiun Senen, Jakarta, (9/4/2021). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan pemerintah mengenai adanya pelarangan mudik, tapi objek wisata tetap buka menuai kritik dari para epidemiolog di Indonesia.

Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono menilai kebijakan pemerintah tersebut tidak konsisten. Seharusnya kebijakan pembukaan destinasi pariwisata harus diikuti dengan kebijakan zona daerah di mana tempat pariwisata itu berada.

"Jadi, menurut saya memang kebijakan pemerintah tidak konsisten. Mall dibuka sampai jam 9 malam, tak ada pembatasan sosial. WFH kemudian hanya himbauan dan tidak disertai surat tugas," ujar Tri Yunis kepada CNBC Indonesia, Kamis (15/4/2021).

"Dilarang mudik itu kan pembatasan sosial sedang, dicampur dengan buka wisata, itu malah pembebasan sosial. Negara ini tidak pernah konsisten. Karena mungkin pertimbangannya ekonomi," ujarnya lagi.

Oleh karena itu, menurut Tri Yunis sebaiknya pembukaan tempat pariwisata dibarengi dengan kebijakan zona masing-masing daerah dimana tempat pariwisata itu berada.

Misalnya tempat pariwisata itu berada di wilayah zona merah, maka otomatis tidak diperbolehkan buka.

Sementara kalau tempat pariwisata itu berada di zona orange, kuning, dan hijau diperbolehkan buka, tapi pengunjungnya harus benar-benar dibatasi dan dipastikan disiplin protokol kesehatan dan tidak membuat adanya kerumunan.

"Harus benar-benar diterapkan di setiap daerah, kabupaten, kota, memetakan itu semua. Tapi lebih ideal lagi seharusnya daerah atau kawasan wisata (para pengunjung) wajib melakukan PCR antigen," tuturnya.

Senada dengan Tri Yunis, Epidemiolog dari Universitas Airlangga Laura Navika Yamani mengatakan kondisi pandemi saat ini memang harus diwaspadai adalah menghindari kerumunan.

Dikhawatirkan jika pariwisata dibuka pada saat libur lebaran, maka akan terjadi kerumunan. Hal ini tentu akan membahayakan adanya risiko penyebaran Covid-19.

"Jika dipastikan tidak terjadi kerumunan, kemudian masyarakat di tempat wisata menjalankan protokol kesehatan, (bisa) mengurangi risiko penularan," tuturnya.

Halaman Selanjutnya >> Kemungkinan Terjadinya Klaster Pariwisata

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman berpandangan, di tengah pandemi Covid-19 di Indonesia yang belum terkendali, potensi terpaparnya virus di tempat pariwisata sangat mungkin terjadi.

Oleh karena itu menurut Dicky sangat penting bagi pemerintah membentuk sebuah regulasi atau pengaturan yang bisa memperkecil potensi adanya paparan virus corona.

Pun meskipun orang sudah melakukan protokol kesehatan, tidak akan 100% memperkecil orang membawa virus ke lokasi pariwisata tersebut.

"Potensi cluster sangat mungkin, apalagi strain baru (virus Covid-19) ada dimana-mana dan cepat menginfeksi. Potensi adanya cluster pariwisata sangat besar, perlu ada ketegasan dalam regulasi, bukan hanya protokol kesehatannya." ujarnya kepada CNBC Indonesia.

Dicky menyarankan agar tempat pariwisata hanya boleh dikunjungi oleh orang masyarakat lokal saja. Artinya, tempat pariwisata bisa dibuka dengan berpedoman dengan pengendalian pandemi dengan mempertimbangkan positivity rate daerah tersebut.

"Kalau misalnya tempat pariwisatanya di Jakarta, ya hanya orang (yang tinggal) di Jakarta saja yang boleh berkunjung. Kalau tempat pariwisatanya ada di Bogor, hanya orang yang tinggal di Bogor saja, dan semua daerah lainnya," tuturnya.

Masyarakat yang hendak berkunjung ke tempat pariwisata pun, kata Dicky harus sadar diri jika ingin mengunjungi suatu destinasi pariwisata. Apabila sedang sakit dan bergejala, untuk jangan nekat pergi.

Masyarakat sedang dalam kontak tracing orang yang positif Covid-19 juga disarankan tidak bepergian.

"Misalnya di keluarganya ada yang positif Covid-19 atau keluarganya ada yang dalam kontak tracing, baik anak atau istri dan sebagainya, ini jangan bepergian," tuturnya.

Jadi, menurut Dicky sangat penting bagi pengelola pariwisata melakukan screening kepada setiap pengunjung. Karena protokol kesehatan seketat apapun dijalankan, apabila tidak ada screening di awal, potensi klaster itu memungkinkan terjadi.





Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular