Mengecek Ancaman Ekonomi Versi Sri Mulyani: Benar Semua!
![[DALAM] Ancaman Ekonomi RI versi Sri Mulyani](https://awsimages.detik.net.id/visual/2021/03/15/dalam-ancaman-ekonomi-ri-versi-sri-mulyani_169.jpeg?w=900&q=80)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19 harus menempuh jalan yang terjal. Belum juga pulih seperti sedia kala, ancaman besar bagi perekonomian global sudah ada di depan mata.
Selama ini berita positif terkait pengembangan vaksin Covid-19 menciptakan euforia bagi pelaku ekonomi baik pemerintah, pelaku usaha, investor hingga konsumen.
Kecepatan pengembangan vaksin yang tidak pernah terjadi sebelumnya membuat pelaku pasar bullish terhadap prospek pemulihan ekonomi dan harga aset-aset berisiko seperti saham dan komoditas melesat signifikan.
Namun di saat yang sama, banyak pihak mulai mengkhawatirkan berbagai risiko besar yang mulai tampak. Salah satunya adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Bendahara Negara mengutip sebuah laporan yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF). Ani, begitu sapaan akrabnya, menyebut setidaknya ada lima risiko yang dihadapi perekonomian dunia.
"Ke depan kita melihat berbagai risiko asset bubbles, price instability, commodity shocks and debt crises dan risiko geopolitik," ungkap Sri Mulyani, seperti dikutip Senin (14/3/2021).
Apa yang disebutkan oleh Ani sebenarnya bukan hal yang asing lagi karena hal tersebut sudah pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Bisa dibilang sejarah akan berulang. Meskipun terulang sejarah dari satu waktu ke waktu yang lain tidak pernah terulang sama persis.
Mari ulas satu per satu! Untuk lebih paham mari flashback ke satu tahun belakang. Tepat sekali! Kala itu WHO baru saja mendeklarasikan bahwa wabah Covid-19 adalah sebuah pandemi.
Pasar keuangan global terguncang. Harga seluruh aset keuangan rontok, bahkan emas sebagai aset safe haven juga longsor. Semua beralih ke uang tunai. Namun bukan sembarang uang tunai melainkan dolar AS.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS sempat melonjak signifikan. Pasar tidak berfungsi secara normal. Likuiditas di sistem keuangan seolah kering kerontang karena semua orang memilih menimbun uang tunai dan tak mau membelanjakan uangnya.
Di sinilah peran bank sentral tampak. The Fed selaku otoritas moneter AS mengeluarkan amunisinya. Suku bunga acuan dibabat habis mendekati nol persen (zero lower bound). Amunisinya tidak hanya satu, tetapi banyak.
The Fed kembali menggunakan kebijakan cetak uang (quantitative easing/QE) untuk menginjeksi likuiditas ke sistem keuangan agar kepercayaan pelaku ekonomi bangkit dan menurunkan suku bunga jangka panjang AS yang sempat melejit guna menurunkan borrowing cost sehingga kredit bisa tersalurkan dan ekonomi berputar lagi.
Bahkan The Fed sampai turun tangan memberikan pinjaman langsung ke sektor riil. Dari sisi fiskal pemerintah AS kala itu masih di bawah Donald Trump juga menggelontorkan stimulus perekonomian ekstra jumbo bernilai triliunan dolar AS.
Langkah serupa juga dilakukan oleh mayoritas negara di dunia. Tak kenal negara maju maupun berkembang. Tak peduli barat maupun timur semua sepakat ekonomi harus diselamatkan. Inilah yang disebut sebagai kebijakan countercyclical.
Setelah itu pasar keuangan mulai kalem. Perlahan tapi pasti harga saham mulai rebound. Begitu juga dengan aset lain seperti obligasi, emas bahkan hingga Bitcoin. Pasar semakin sumringah ketika banyak negara mulai melonggarkan karantina wilayah dan berita positif vaksin menjadi headline news di berbagai media global.
Harga saham semakin naik gila-gilaan, terutama saham-saham teknologi di AS. Saat ekonomi belum benar-benar pulih indeks S&P 500 justru mencetak rekor tertingginya (all time high).
Valuasi saham menjadi sangat premium. Mengacu pada indikator yang dicetuskan oleh investor kawakan Warren Buffett, ketika rasio kapitalisasi pasar terhadap PDB suatu negara berada di atas rata-ratanya secara tren historikal maka bisa dikatakan bahwa nilainya sudah kemahalan alias overvalued.
Sejak 1970-2020, secara rata-rata rasio kapitalisasi pasar saham terhadap PDB AS berada di angka 80%. Saat ini rasionya sudah di atas 100%. Bahkan hampir dua kali lipat dari rata-rata.
Melihat indikator valuasi lain yaitu menggunakan rasio harga terhadap laba (price to earnings/PE), secara rata-rata jangka panjang 10 tahun nilai PE S&P 500 adalah 14-15x. Namun PE S&P 500 sempat menyentuh angka 29,1x.
Valuasi yang sudah kemahalan membuat banyak pihak khawatir bahwa asset price bubble akan terjadi. Seperti biasa pandangan ini menuai pro-kontra. Namun jika dilihat lebih jernih bahwa tidak seluruh saham yang harganya naik gila-gilaan.
Saham-saham teknologi lah yang menjadi bahan bakar utama meroketnya indeks saham AS. Sebagian orang melihat hal tersebut wajar karena sektor ini diuntungkan dengan kebijakan work from home (wfh).
Lagipula bank sentral yang masih jaga gawang juga membuat berinvestasi ke obligasi jadi kurang menarik. Bayangkan saja nilai pasar obligasi dengan imbal hasil di bawah nol persen sempat menyentuh angka US$ 18 triliun. Ini adalah dalih dan argumen alternatif dibalik lonjakan harga saham yang fantastis.
Namun tetap, risiko bubble itu memang terlihat terutama di saham-saham teknologi. Lantas apakah kejadian seperti dot.com crash 20 tahun silam akan terulang lagi? Who knows? Yang jelas jika harga saham-saham teknologi terus naik risiko bubble menjadi semakin nyata.
Hanya saja ketika perekonomian mulai berangsur normal ada kemungkinan terjadi rebalancing ke sektor-sektor konvensional yang selama ini tertekan. Jadi ada potensi shifting yang membuat saham-saham teknologi anjlok dan saham non-teknologi berganti terangkat naik.
Hal itu bisa terjadi dengan catatan jika risk appetite investor masih terjaga. Namun jika selera risiko kembali drop, jangan tanya deh. Semua aset bakal jadi korban lagi seperti Maret tahun lalu.
