Mengecek Ancaman Ekonomi Versi Sri Mulyani: Benar Semua!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
17 March 2021 16:11
Minyak Bumi
Foto: Reuters

Selain saham, aset-aset berupa komoditas juga naik harganya. Hampir semua komoditas baik migas, pertambangan hingga agrikultur ikut beterbangan. Kenapa bisa? Alasannya sederhana!

Sebelum pandemi terjadi, harga komoditas cenderung melorot. Ketika pandemi permintaan yang drop membuat harga semakin jatuh. Namun setelah pemerintah dan bank sentral turun tangan mengguyur uang lewat stimulus ke perekonomian. 

Banyak pihak yang berspekulasi bahwa ekonomi bakal bersemi lagi dan permintaan terhadap komoditas ikut naik. Harga batu bara terbang. Harga minyak bahkan sudah pulih dari krisis padahal dalam kondisi riil permintaan minyak masih di bawah kondisi normal karena mobilitas masih terbatas. 

Harga pangan seperti harga CPO, gula dan lainnya juga ikut melonjak. Saat harga jatuh produsen baik petani maupun penambang cenderung mengurangi produksi. Namun saat permintaan berangsur membaik harga pun ikut naik. 

Kenaikan harga komoditas semakin tinggi seiring dengan masuknya para spekulan yang memasang posisi beli (long) pada kontrak yang diperjualbelikan di bursa berjangka. 

Kenaikan harga minyak dan komoditas lain dalam jangka yang pendek ini bisa dibilang termasuk fenomena commodity shocks. Apresiasi harga komoditas juga menimbulkan ekspektasi kenaikan inflasi. Neraca bank sentral terutama The Fed yang menggembung lebih dari US$ 3,4 triliun dianggap menjadi sinyal kuat inflasi. 

Apa yang membuat neraca bank sentral mengembang adalah uang yang mereka cetak dibelikan aset berupa obligasi. Likuiditas yang ada sistem keuangan berlimpah. Pasokan uang pun ikut meningkat.

Ketika pasokan uang beredar banyak maka secara teoritis inflasi adalah konsekuensinya. Namun dengan catatan ya kalau uang tersebut cepat berpindah tangan.

Walaupun pendapat ini juga sering menjadi perdebatan karena besarnya neraca bank sentral tidak selaku sebanding dengan inflasi, tetapi ketika banyak pihak yang berpikir inflasi yang tinggi bakal terjadi maka inflasi yang tinggi bisa saja terjadi.

Itu uniknya karena inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh interaksi supply & demand tetapi juga pada persepsi pelaku ekonominya. 

Survei yang dilakukan oleh lembaga keuangan asal Wall Street yaitu Bank of America menunjukkan bahwa dari 220 fund manager yang mengelola aset lebih dari US$ 600 miliar mengatakan inflasi menjadi salah satu risiko utama.

Sebanyak 37% dari responden mengatakan bahwa inflasi menjadi risiko yang paling utama. Risiko lain datang ketika terjadi taper tantrum. Sebanyak 36% fund manager menyebut tapering menjadi risiko utama lain. 

Tapering terjadi ketika bank sentral kembali menyerap likuiditas yang berlimpah di sistem keuangan dengan mengeluarkan obligasi yang sudah dibeli dari balance sheetnya. 

Namun tapering akan membuat pasar menjadi bergejolak. Pengaruhnya akan meluas. Mulai dari jatuhnya harga saham hingga sektor riil karena mata uang terutama mata uang negara berkembang seperti rupiah akan menjadi tumbal. Pergerakan liar harga menunjukkan adanya instabilitas. 

Instabilitas harga adalah risiko besar bagi pelaku ekonomi karena dengan harga yang cenderung berfluktuasi tajam dalam waktu singkat tentu akan mempengaruhi keputusan untuk konsumsi maupun investasi.

(twg/twg)
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular