Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi covid-19 belum selesai, namun sederet mimpi buruk tentang masa depan sudah hadir lebih awal. Mimpi buruk tentang ancaman nyata yang menanti ekonomi dunia termasuk Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
Balik sedikit ke beberapa bulan lalu. Awal 2021 euforia vaksinasi begitu menggema. Semua (mungkin) yakin dunia kembali pulih setelah dua kali suntikan. Semua yang dimaksud seperti pemerintah, pengusaha, pelaku pasar saham, seniman dan lainnya yang berkaitan.
Sayangnya euforia itu tidak bertahan lama. Beberapa organisasi mulai memikirkan apa yang terjadi setelah pandemi selesai. Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) adalah salah satunya, lewat The Global Risk Report 2021.
WEF dikenal dengan pertemuan tahunan yang diadakan di Davos, Swiss. Hadir dalam pertemuan tersebut adalah pimpinan negara beserta menteri, pengusaha besar hingga analis ekonomi ternama.
Laporan yang dikeluarkan WEF itu menjadi sorotan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Tentang bagaimana banyak negara dihadapkan konsekuensi atas kebijakan yang diambil ketika menghadapi pandemi.
"Berbagai risiko diidentifikasi dg adanya kebijakan countercyclical seluruh negara di dunia. Ke depan kita melihat berbagai risiko asset bubbles, price instability, commodity shocks and debt crises dan risiko geopolitik," ungkap Sri Mulyani, seperti dikutip Selasa (16/3/2021)
Ancaman itu nyata. Utang adalah satu persoalan. Ini berawal saat pandemi semua negara memperlebar defisit anggaran atau menambah utang demi masyarakat bisa bertahan hidup dan ekonomi tidak begitu terpuruk. Skemanya ada yang berbentuk langsung kepada masyarakat maupun insentif untuk dunia usaha.
Akan tetapi tidak semua berhasil. Ada negara yang meskipun utang sudah segunung, namun tanda pemulihan ekonomi belum terlihat. Sehingga pemerintahnya harus putar otak untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran utang.
Indonesia juga berada dalam konsep kausalitas yang sama. Pada 2020 lalu, defisit anggaran diperlebar menjadi 6%. Utang pemerintah juga melejit meskipun ada bantuan dari Bank Indonesia (BI) yang bersedia berbagi beban.
Sekarang pemerintah berupaya bagaimana vaksinasi selesai sebelum akhir tahun. Sementara ekonomi dipulihkan dengan hati-hati dan terukur. Harapannya semua pulih, ekonomi berjalan, penerimaan pajak kembali membaik dan utang bisa terbayarkan.
"Setiap langkah kebijakan nggak hanya berikan manfaat tapi ada konsekuensi, demikian pula dengan kebijakan yang diambil di sisi APBN atau fiskal bersama sama lembaga lain dalam tangani covid-19," jelasnya.
Risiko lain yang mengancam adalah perubahan iklim. Meskipun sifatnya jangka panjang. 5-10 tahun yang akan datang. Akan tetapi menurut Sri Mulyani hal tersebut juga harus diwaspadai sejak kini. Ancaman itu nyata, maka segala kebijakan untuk mengantisipasi harus disiapkan.
"Juga perlunya diwaspadai munculnya digital power consentration, digital inequality dan cyber security. Dinamika ini merupakan tantangan yang harus terus dilihat dan diwaspadai dan direspon oleh jajaran Kemenkeu," kata Sri Mulyani mengingatkan kepada jajaran yang baru saja dilantik akhir pekan lalu.
Seperti yang dikutip CNBC Indonesia, laporan tersebut diperoleh melalui sumber yang andal dan akurat. Responden yang terlibat meliputi para investor besar dan analis ekonomi ternama dunia yang menggunakan kondisi sekarang sebagai asumsi awal untuk memprediksi kondisi jangka pendek hingga menengah panjang.
Dalam laporan tersebut dikatakan efek pandemi covid-19 merusak banyak aspek kehidupan. Banyak orang di dunia yang tidak bisa menahan tekanan sehingga berujung pada kemiskinan. jurang dengan orang kaya pun tercipta semakin lebar karena pemanfaatan teknologi.
Pada kuartal III-2020, data menunjukkan adanya pemulihan ekonomi. Beberapa negara mulai melakukan pelonggaran, namun ternyata di akhir tahun penyebaran virus kembali meningkat tajam. Sehingga kebijakan berubah lagi menjadi lockdown.
Pandemi juga meningkatkan angka pengangguran. Belum ada jaminan, ketika ekonomi pulih kelompok ini akan kembali mendapatkan pekerjaan. Efisiensi yang terbentuk ketika pandemi dikhawatirkan terus dipertahankan perusahaan dengan melibatkan digitalisasi.
Sehingga dalam jangka pendek atau 2 tahun mendatang dikhawatirkan ada krisis pekerjaan. Kaum milenial yang mendominasi akan merasa kecewa karena sulit untuk tumbuh. Selanjutnya ketidaksetaraan penggunaan teknologi digital dan stagnasi ekonomi di beberapa negara karena terlambat pulih.
Hal lainnya dikhawatirkan jangka pendek adalah kerusakan lingkungan akibat ulah manusia, erosi kohesi masyarakat, dan serangan teroris.
Sementara itu dalam jangka menengah atau 3-5 tahun mendatang ancaman lebih buruk dikhawatirkan terjadi. Di antaranya adalah:
- Penggelembungan aset dalam skala ekonomi besar (Asset bubble burst in large economies) : harga perumahan, dana investasi, saham, dan aset lain dalam ekonomi besar semakin jauh/terputus dari ekonomi riil.
- Krisis utang di negara-negara besar (Debt crises in large economies): Keuangan perusahaan atau keuangan publik kewalahan oleh akumulasi utang dana/atau pembayaran utang di negara-negara besar yang mengakibatkan kebangkrutan massal, gagal bayar, kebangkrutan, krisis likuiditas atau krisis hutang negara.
- Kegagalan untuk menstabilkan harga (Failure to stabilize price
trajectories): ketidakmampuan untuk mengontrol kenaikan harga (inflasi) atau penurunan harga (deflasi) yang tidak terkendali pada tingkat harga umum barang dan jasa
- Renggangnya hubungan antar negara (Fracture of interstate relations) : persaingan ekonomi, politik, dan/atau teknologi antara kekuatan geopolitik, mengakibatkan retaknya hubungan bilateral dan/atau meningkatnya ketegangan.
- Konflik antar negara (Interstate conflict): Konflik bilateral atau multilateral yang berperang antar negara dengan konsekuensi global: serangan secara biological, kimiawi, dunia maya, dan/atau fisik. intervensi militer, perang proxy, dan sebagainya.
- Geopolitisasi sumber daya strategis (Geopolitization of strategic resources): konsentrasi, eksploitasi dan/atau pembatasan mobilitas oleh negara untuk barang, pengetahuan, jasa atau teknologi yang penting bagi pembangunan manusia dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan geopolitik.
Sementara itu untuk 10 tahun ke depan, maka risiko yang perlu dikhawatirkan adalah cuaca ekstrim, kegagalan tindakan iklim dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia.
WEF juga mencatat kemungkinan digital power concentration, digital inequality and cybersecurity failure. Penyakit menular juga tidak bisa diabaikan kembali terulang di masa depan, bersamaan dengan krisis mata pencaharian dan krisis utang serta kerusakan infrastruktur TI.
Pengusaha Indonesia membenarkan akan adanya ancaman perekonomian ke dalam negeri akibat pandemi Covid-19 menyusul pernyataan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu.
Sri Mulyani menyebutkan, beberapa ancaman bagi ekonomi RI mulai dari volatilitas harga yang tidak stabil, potensi aset yang bubble, 'meledaknya' harga komoditas, krisis utang hingga risiko geopolitik.
"Bu Sri Mulyani sangat benar," ujar Wakil Ketua Umum (Waketum) Kadin Bidang Perdagangan, Benny Soetrisno kepada CNBC Indonesia, Senin (15/3/2021).
Menurut Benny, ancaman sudah diantisipasi oleh pengusaha terutama untuk melakukan investasi. Terutama karena pandemi membawa perubahan yang bisa mengganggu sektor usaha di Indonesia.
"Jadi sebagai pengusaha harus lebih hati hati dalam investasi , karena ketidakpastian yang selalu ada dan perubahan karena teknologi yang terus terjadi mengakibatkan disruption terhadap semua sektor usaha," jelasnya.
Indonesia sepertinya tidak punya pilihan lain, selain pulih lebih cepat. Sehingga ancaman besar yang baru saja diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak melanda ekonomi tanah air. Khususnya untuk jangka pendek.
Diketahui ucapan Sri Mulyani mengacu kepada laporan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) bertajuk The Global Risk Report 2021.
"Kita harus cepat pulih di dalam negeri," ungkap Kepala Ekonom BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia.
Pemulihan yang dimaksud dari sisi pandemi yang artinya vaksinasi bisa selesai paling lambat sebelum akhir tahun 2021. Kemudian dilanjutkan dengan pemulihan ekonomi.
"Pemulihan ini kan salah satu fungsinya adalah confident masyarakatnya pulih dalam aktivitas ekonomi. Mulai konsumsi, investasi, belanja rumah tangga, dan lain-lain," ujarnya.
Pemerintah sudah mengeluarkan banyak stimulus yang mendorong limpahan likuiditas. Akan tetapi likuiditas tersebut tidak mengalir ke sektor rill, justru hanya berputar di pasar keuangan. Sehingga tidak mencapai sasaran yang diinginkan. Kondisi ini cukup buruk dan sudah terjadi di Amerika Serikat (AS).
"Orang mau jalan-jalan ke sana juga nggak ada, beli barang sulit. Akhirnya mereka belanjakan di pasar modal. Dananya masuk ke sana. Ini yang dimaksud asset bubble," jelas David.
Di samping itu, pemulihan yang lebih cepat menurut David juga mengantisipasi tappering yang dilakukan oleh AS. Pasar keuangan dalam negeri bisa porak poranda bila tidak ada antisipasi. Harga komoditas juga pasti akan terdampak seperti halnya 2013.
"Ketika itu terjadi (ekonomi negara maju pulih), stimulusnya mungkin mulai dikurangi di negara-negara maju, di Eropa, Amerika. Nah tapering itu bisa dilakukan jika lebih cepat dari yang kita perkiran. Itu bisa saja menghancurkan, kenapa US Treasury ada kenaikan akhir-akhir ini. Itu suatu hal," paparnya.
Terkait dengan ancaman geopolitik dalam waktu dekat, menurut David, patut dikhawatirkan. Berkaca pada beberapa tahun lalu ketika ada pertikaian di Timur Tengah yang mendorong kenaikan harga minyak dunia dan komoditas lainnya seperti gandum.
"Di sana kan konsumsi gandumnya banyak. Komoditas gandum yg mereka impor. Itu yang mungkin Sri Mulyani anggap sebagai salah satu risiko," kata David.