Internasional

Myanmar Membara, Ada Peluang Relokasi Investasi China?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
15 March 2021 16:32
Myanmar
Foto: AP/

Jakarta, CNBC Indonesia - Myanmar kian memanas. Ketegangan politik akibat kudeta junta militer terhadap politisi sipil Aung San Suu-Kyi berimbas ke ranah ekonomi dengan pembakaran pabrik milik investor China. Negeri ini pun bakal kian miskin.

Insiden pembakaran empat pabrik yang didanai China oleh demonstran anti-kudeta di Myanmar terjadi pada Minggu (14/3/2021). Para pendemo, yang merupakan pekerja di kawasan industri Hlaingthaya, menganggap China mendukung kudeta militer Myanmar 1 Februari.

Militer melakukan kudeta dengan dalih pemilu yang dimenangkan kubu Suu Kyi pada November lalu penuh dengan kecurangan. Oleh karenanya, militer menyatakan mengambil alih kekuasaan, memberlakukan keadaan darurat selama setahun dan berjanji akan mengadakan pemilu ulang.

Massa di Mandalay juga mengancam menghancurkan pipa gas terbesar China-Myanmar akhir pekan lalu setelah dokumen dukungan China terhadap pemerintah Myanmar bocor. Beijing membagikan data intelijen untuk membendung aksi kelompok minoritas di proyek pipa mereka.

"China mendesak Myanmar untuk mengambil langkah efektif lebih lanjut untuk menghentikan semua tindakan kekerasan, menghukum pelaku sesuai dengan hukum dan memastikan keselamatan jiwa dan properti perusahaan dan personel China di Myanmar," tulis Beijing merespons pembakaran pabriknya, sebagaimana dikutip Reuters, Senin (15/3/2021).

Merespons aksi vandalisme tersebut, pemerintah Myanmar pun menerapkan darurat militer di Hlaingthaya yang merupakan sentra manufaktur di Negeri 1.000 Pagoda ini. Status yang sama juga berlaku di Yangon, kota komersial utama Myanmar dan bekas ibu kota negeri itu.

China juga memberi peringatan keamanan ke warganya, khususnya yang memiliki aktivitas bisnis di negeri itu. China mengingatkan aksi warga Myanmar akan memicu ketidakstabilan ekonomi karena investasi Negeri Panda itu telah membuka ratusan ribu lapangan kerja.

Peringatan China beralasan. Nilai produk domestik bruto (PDB) Myanmar per kapita saat ini menjadi yang terkecil di Asia Tenggara. Dengan populasi sebesar 56,7 juta penduduk dan PDB sebesar US$ 76,1 miliar (2019), PDB per kapita mereka hanya US$ 1.407,8.

Ini memposisikan Myanmar sebagai negara dengan pendapatan per kapita terendah di Asia Tenggara. Status itu diraihnya sejak 2016 setelah Kamboja menyalip posisinya, dengan mencetak PDB per kapita sebesar US$ 1.269,6.

Sebagai perbandingan, pada periode yang sama PDB Indonesia sebesar US$ 1.19 triliun, dengan PDB per kapita US$ 4.135,6. Artinya, rata-rata pendapatan warga Indonesia tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan warga Myanmar.

Demokrasi dan Suu Kyi adalah daya tarik investasi Myanmar. Transisi demokrasi menjanjikan reformasi birokrasi dan iklim usaha. Ketika junta militer memulai reformasi demokrasi, investasi asing berdatangan ke Myanmar dan kian menguat ketika Suu Kyi menang pemilu pada 2015.

Bank Dunia mencatat aliran investasi langsung asing (foreign direct investment/FDI) ke Myanmar lompat 1806% pada 2011, dan melonjak 86,4% pada 2015 ketika Su Kyi menang pemilu. Pada 2015, nilai FDI mencapai US$ 4,1 miliar, setara dengan 6% dari PDB Myanmar.

Ketika terjadi kudeta kemarin, yang merupakan kudeta ketiga dalam sejarah Myanmar sejak 1962, dunia pun bereaksi keras. Pemerintah Jepang menyatakan akan memberikan respon atas manuver militer, sedangkan pemerintah Singapura mendesak pembebasan Suu Kyi.

Perusahaan Jepang Kirin Holding menjadi investor yang pertama mengumumkan kecamannya dan menyatakan akan menghentikan rencana operasi dua perusahaan patungan yang dibentuknya di Myanmar, yakni Myanmar Brewery dan Mandalay Brewery.

Namun lain halnya dengan China, ketika investor lain tak berminat melanjutkan proyek mereka karena kudeta militer, Beijing tetap bertahan dan justru mengambil peluang dari situasi tersebut dengan kian menancapkan kuku investasinya ke sektor strategis di Myanmar.

Sikap demikian tercermin dari pernyataan politik mereka yang tidak mengecam junta militer atau membebaskan Suu Kyi. Inilah yang membuat demonstran Myanmar murka dan menyerang aset-aset ekonomi dan bisnis China di Myanmar.

Penyerangan tersebut jelas saja membuat Negeri Tirai Bambu geram. Saat ini mereka telah banyak berinvestasi di Myanmar, dengan menjadi negara pemasok investasi langsung FDI terbesar kedua setelah Singapura.

Menurut data Direktorat Administrasi Perusahaan dan Investasi Myanmar, China sejauh ini telah menanamkan dana US$ 21,5 miliar, menjadikannya sebagai sumber FDI terbesar kedua setelah Singapura (sebesar US$ 24,1 miliar). Keduanya menyumbang 52% FDI Myanmar pada 2020.

Harap dicatat, Myanmar merupakan bagian dari proyek Belt and Road Initiative milik Beijing. Posisi negara yang dulu disebut Burma ini bagi Negeri Tirai Bambu sangat vital, karena menyediakan jalur penghubung China Daratan dengan Samudera Hindia.

Dengan kondisi geopolitis demikian, maka peluang relokasi investasi dari China ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk ke Indonesia, menjadi sangat kecil dan bahkan bisa dibilang tidak ada.

Pasalnya, saat ini FDI China dan negara-negara lain ke Myanmar terfokus pada sektor strategis dengan pasar domestik, seperti perbankan, asuransi, telekomunikasi, dan ritel. Kirin Holding asal Jepang, misalnya, menggarap pasar minuman keras di Myanmar. Tak ada investasi sektor otomotif atau manufaktur yang menyasar pasar regional,

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular