
Dear Pak Jokowi, Kapan Aturan Harga Listrik EBT Diteken?

Jakarta, CNBC Indonesia - Peraturan Presiden (Perpres) mengenai tarif pembelian tenaga listrik dari energi baru terbarukan (EBT) oleh PLN tidak kunjung terbit. Padahal, Perpres ini sangat dibutuhkan untuk menarik lebih banyak lagi investor EBT.
Khususnya di sektor panas bumi, masalah tarif ini menjadi kendala utama. Pasalnya, harga listrik yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) masih tinggi, sementara PLN membeli listriknya di bawah harga keekonomian proyek.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi mengatakan, belum diterbitkannya Perpres ini, membuat pembelian listrik panas bumi belum sesuai keekonomian proyek. Dampaknya, investor memilih untuk menahan investasinya.
"Kita berharap Perpres segera terbit agar ada kepastian bagi percepatan pengembangan panas bumi ke depannya," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (05/03/2021).
Menurutnya, harapan dari pengembang panas bumi adalah pembelian listrik menggunakan skema sliding scale FIT (Feed in Tariff), yakni pembelian listrik yang disesuaikan dengan keekonomian proyek untuk setiap besaran kapasitas.
"Pengembang berharap skema sliding scale FIT, yaitu FIT yang disesuaikan keekonomian proyeknya untuk setiap besaran kapasitas, sehingga tidak perlu negosiasi dengan PLN karena FIT tersebut sudah available saat tender," paparnya.
Jika pembelian listrik sudah disesuaikan dengan keekonomian, maka tidak diperlukan lagi negosiasi dengan PT PLN (Persero), yang merupakan satu-satunya pembeli listrik. Hal ini dikarenakan FIT sudah tersedia sejak saat lelang.
"Begitu diberikan IPB (Izin Panas Bumi), tinggal lari sampai COD (Commercial Operation Date/ mulai beroperasi)," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, draf Perpres EBT sudah disosialisasikan kepada pengembang dan bahkan sudah didiskusikan. Namun sayangnya, skema tarif di dalam Perpres tersebut menurutnya tidak mengakomodir apa yang diinginkan oleh para pengembang.
"Perpres sudah disosialisasikan dan sudah didiskusikan. Tetapi skema tarif di dalam draf tersebut tidak mengakomodir keinginan pengembang," tuturnya.
Tidak tercantumnya tarif yang ideal bagi pengembang di dalam Perpres menurutnya bakal sulit menarik investor. Padahal, imbuhnya, peran investor di sini adalah mendorong percepatan pengembangan panas bumi dan juga memaksimalkan peran panas bumi di dalam bauran EBT pada 2025 sampai dengan 2030 mendatang.
"Akan sulit menarik minat investor untuk membantu percepatan pengembangan panas bumi untuk memaksimalkan peran panas bumi di dalam bauran energi nasional yang ditargetkan di tahun 2025-2030," tuturnya.
Karena masalah tarif panas bumi belum diakomodir di dalam Perpres, pihaknya pun berharap akan ada insentif di dalam Peraturan Menteri (Permen) yang menjadi peraturan turunannya.
"Mudah-mudahan Permen turunannya dapat memberikan insentif yang diperlukan, untuk membantu keekonomian proyek panas bumi," ujarnya.
Jika Perpres segera terbit, imbuhnya, investor panas bumi bisa segera mendapatkan kepastian. Dengan demikian, diharapkan bisa mendorong percepatan pengembangan panas bumi.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perusahaan AS Akan Berinvestasi Panas Bumi di RI Sampai Rp 16 Triliun
