
Jokowinomics: Benci Produk Asing, Apa Bisa RI Tanpa Impor?

Sebenarnya wajar saja bagi konsumen untuk memilih produk yang murah. Apalagi kalau dengan kualitas yang sama baiknya. Ketika konsumen lebih memilih produk impor ketimbang lokal bukan berarti produk lokal tidak punya kualitas baik. Bukan berarti pula konsumen tidak mencintai produk lokal.
Permasalahannya cukup banyak. Terutama untuk sektor industri TPT. Agar produk lokal lebih kompetitif, pemerintah harus menyelesaikan beberapa tantangan utama yang membuat Indonesia kebanjiran impor produk-produk tekstil dari luar.
Semua masalah tersebut berakar pada daya saing industri TPT dalam negeri yang terus menurun. Sebuah tulisan yang dimuat di situs Asean Briefing menyebut ada permasalahan utama yang dihadapi sektor TPT dalam negeri.
Tingginya harga listrik dan gas dibandingkan dengan negara produsen tekstil lainnya telah menurunkan daya saing Indonesia di pasar internasional. Biaya tenaga kerja juga meningkat setiap tahun.
Sebagai contoh upah minimum di Indonesia telah dinaikkan sebesar 8,5% untuk tahun 2020. Upah minimum negara juga ditetapkan berdasarkan sektornya. 'Sektor atau industri terkemuka' di sebuah provinsi, seperti tekstil dan manufaktur garmen, dapat menentukan tingkat upah minimum mereka sendiri, yang juga dikenal sebagai UMSP.
Masalah lainnya adalah mesin-mesin yang mulai menua, yang mengakibatkan produktivitas dan efisiensi yang lebih rendah secara keseluruhan bagi sektor usaha tersebut. Hal ini merusak salah satu kekuatan utama sektor ini yaitu kehadiran industri hulu dan hilir.
Lagipula yang bisa berinvestasi besar untuk mengadakan mesin dan peralatan canggih bisa dibilang hanya besar saja. Selain itu, peningkatan integrasi regional telah mengakibatkan masuknya produk tekstil yang lebih murah ke Indonesia baik secara legal maupun ilegal juga menekan produsen dalam negeri yang lebih kecil.
Beberapa upaya memang sudah dilakukan oleh pemerintah mulai dari adanya Undang-Undang Cipta Kerja guna menarik investasi di sektor-sektor padat karya hingga sempat adanya tarif impor untuk anti-dumping.
Hanya saja reformasi tersebut juga membutuhkan waktu untuk diimplementasikan dan tidak bisa sim salabim langsung jalan. Tren rupiah yang cenderung terdepresiasi setiap tahunnya juga membuat biaya impor bahan baku untuk industri tekstil menjadi semakin mahal sehingga ongkos produksinya menjadi tidak efisien.
Impor bahan mentah, seperti kapas yang dibeli dengan dolar AS dari AS, Brasil, dan Australia senilai antara US$ 300 hingga US$ 600 juta per tahun dan berdampak pada profitabilitas perusahaan yang melayani pasar domestik.
Perusahaan yang lebih besar dengan kapasitas untuk mengekspor produk mereka mendapat keuntungan dari penguatan dolar AS. Namun bagaimana untuk sektor UMKM yang jumlahnya lebih banyak dan tidak mendapatkan akses ke pasar internasional? Merekalah yang selama ini menjadi korban.
Seiring dengan perkembangan teknologi digital yang semakin pesat dan banyaknya UMKM yang go digital, mereka perlu mendapatkan pembinaan yang lebih komprehensif serta pendanaan yang terjangkau.
Apabila pemerintah tidak ingin terus-menerus bergantung pada impor baik untuk industri tekstil, otomotif, elektronik maka perlu kebijakan yang terintegrasi dan holistik, karena kunci daya saing adalah efisiensi dan pasar yang besar. Yang pertama Indonesia belum punya oleh karena itu perlu dibangun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)[Gambas:Video CNBC]