Jokowi Restui Investasi Miras Bali Hingga Papua, Kamu Setuju?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah melonggarkan aturan berinvestasi di sektor minuman beralkohol (minol). Banyak yang menentang, namun ada pula yang setuju dengan penerapan aturan ini.
Dari kebijakan ini pemerintah kian terbuka dengan investor lokal dan asing yang ingin berinvestasi di sektor minuman beralkohol. Khususnya di wilayah Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi dan Papua.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi Siswaja Lukman, melihat Indonesia memang harus terbuka untuk mendorong sektor usaha dalam negeri. Karena kebutuhan pariwisata itu membutuhkan fasilitas untuk wisatawan mancanegara termasuk untuk minuman beralkohol.
"Ini tidak bisa dilepas dari kebutuhan mereka, oleh sebab itu jika Indonesia semakin terbuka dan ingin melayani pariwisata sebaik mungkin saya kira tidak bisa kita melakukan pembatasan atau larangan yang menghambat pariwisata itu sendiri," jelas Adhi kepada CNBC Indonesia, Senin (1/3/2021).
Adhi menjelaskan dengan dibukanya di beberapa daerah paling tidak pemerintah bisa mengontrol produksi dan penjualannya untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Daerah yang dipilih juga merupakan daerah yang kondusif dari budaya masyarakat setempat khususnya yang sudah mempunyai minol yang tradisional.
"Saat ini juga minuman beralkohol banyak ilegal, dari pada ilegal lebih baik dilegalkan tapi terkontrol itu lebih bagus. Selain itu ada varian baru yang diproduksi kalau kita izinkan pabrik baru di daerah tertentu, sehingga bisa memberi inovasi di sektor ini," kata Adhi.
Kontra
Di sisi lain, Ekonom Institute for Development Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, mengatakan pelonggaran investasi di sektor minol ini terhadap ekonomi masyarakat daerah cenderung kecil. Justru lebih banyak efek negatif dibandingkan keuntungannya.
"Meskipun basis produksinya ada di beberapa daerah itu tentu penjualan masih sulit diatur. Pastinya ini juga menjadi pertimbangan investor adalah pasar minol dalam negeri," kata Bhima kepada CNBC Indonesia (1/3/2021).
Jadi dampak terhadap penjualan minuman beralkohol di Indonesia juga belum tentu meningkat. Belum lagi dengan adanya pandemi dimana pintu wisatawan mancanegara yang menjadi target sasaran konsumen minuman beralkohol juga masih tertutup.
Bhima menambahkan dengan adanya aturan ini membuat Indonesia di mata investor asing khususnya dari negara muslim kurang baik. Terlebih sebelumnya pemerintah gembar - gembor soal investasi di sektor halal.
"Banyak sektor yang bisa dikembangkan selain industri minol. Kalau hanya punya dampak ke tenaga kerja, sektor pertanian dan pengembangan agro industri harusnya yg dipacu. Salah kalau ke minuman beralkohol karena dampaknya jangka panjang justru blunder bagi kesehatan masyarakat juga mengakibatkan gejolak sosial apalagi kalau produk miras-nya ditawarkan ke pasar dalam negeri," jelasnya.
Makanya dia meminta pemerintah merevisi aturan ini, dengan pertimbangan dampak negatif untuk jangka panjang. Selain itu ada juga kerugian ekonomi dari sisi kesehatan.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Aqil Siroj dengan tegas menolak rencana pemerintah yang menjadikan industri minuman keras keluar dari daftar investasi. Alasannya, Al-Qur'an telah jelas mengharamkan miras karena menimbulkan banyak mudharat.
"Kita sangat tidak setuju dengan Perpres terkait investasi miras. Dalam Al-Qur'an dinyatakan وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan)," kata Kiai Said dalam keterangan tertulis, Senin (1/3/2021).
Kiai Said mengatakan, seharusnya kebijakan pemerintah mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat sebagaimana kaidah fiqih Tasharruful imam 'alar ra'iyyah manuthun bil maslahah (kebijakan pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat).
"Karena agama telah tegas melarang, maka seharusnya kebijakan pemerintah itu menekan konsumsi minuman beralkohol, bukan malah didorong untuk naik," tandasnya.
Oleh karena itu, sambungnya, melihat bahaya sebagai dampak negatif yang jelas dari miras ini sudah seharusnya dicegah dan tidak boleh ditoleransi. Kaidah fiqih mengatakan, الرِّضَا بِالشَّيْءِ رِضًا بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ (Rela terhadap sesuatu artinya rela terhadap hal-hal yang keluar dari sesuatu tersebut).
"Kalau kita rela terhadap rencana investasi miras ini, maka jangan salahkan kalau nanti bangsa kita rusak," ucapnya.