Kacau! Massa Junta Militer Ngamuk, Serang Anti Kudeta Myanmar

Jakarta, CNBC Indonesia - Massa pendukung junta militer Myanmar turun ke jalan-jalan di kota Yangon, Kamis (25/2/2021). Sekitar 1.000 orang dengan membawa pisau, pentungan dan batu, menyerang massa anti kudeta militer yang berkumpul berunjuk rasa.
Melansir Reuters, ini terjadi ketika aparat memblokir mahasiswa yang berbaris meneriakkan dukungannya pada pemerintah sipil pemimpin de facto Aung San Suu Kyi yang digulingkan 1 Februari lalu. Pendukung militer kemudian membuat keributan dengan mengancam fotografer yang bertugas meliput berita.
Ini membuat bentrokan pecah. Seorang fotografer disebut terluka.
"Beberapa orang itu mengancam para fotografer berita," kata seorang saksi, dikutip Jumat (26/2/2021).
"Beberapa orang diserang dan dipukuli oleh sekelompok pria bersenjata, yang lain menembakkan ketapel dan batu."
Bentrokan juga disebut makin parah di sejumlah wilayah di kota pusat bisnis itu. Sebuah rekaman menunjukkan dua orang ditikam, di luar sebuah hotel di pusat Yangon.
Terlihat pula petugas membantu sang pria yang berlumuran darah. Penyerang diketahui pergi setelahnya.
"Ini menunjukkan siapa teroris. Mereka takut tindakan demokrasi rakyat," kata seorang antivis anti kudeta Thin Zar Shun Lei Yi.
"Kami mahasiswa harus menghancurkan kediktatoran," kata pendemo anti kudeta lain Kaung Sat.
Dalam sebuah video yang disiarkan langsung menjelang malam, aparat menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan. Di wilayah lain Myanmar, para dokter mengadakan protes yang mereka sebut 'revolusi jas putih'.
Sebuah kelompok hak asasi manusia (HAM) mengatakan sejak demo anti kudeta merebak berminggu-minggu, 728 orang ditangkap aparat. Belum ada komentar dari junta militer soal ini.
Sementara itu, sejumlah negara kembali menyuarakan pembebasan Suu Kyi dan sejumlah tokoh pemerintahan sipil serta demokrasi di Myanmar. AS dan Inggris misalnya juga menjatuhkan sanksi kepada petinggi militer Myanmar dan jaringan bisnis mereka.
Sementara itu, AS mengecam Malaysia karena Myanmar. Pasalnya, Negeri Jiran melakukan deportasi ke lebih dari 1.000 warga Myanmar yang termasuk pencari suaka ke negara itu.
Pemerintahan Presiden Joe Biden mengaku prihatin dengan langkah Malaysia. AS menyayangkan sikap Malaysia yang terus maju meski pengadilan setempat telah melarang deportasi, mengingat kerusuhan yang tengah berlangsung pasca kudeta.
"Kami terus mendesak semua negara di kawasan yang mempertimbangkan pemulangan migran Myanmar kembali ke negara itu, untuk menghentikan pemulangan sampai UNHCR (lembaga PBB khusus pengungsi) dapat menilai apakah para migran telah memiliki perlindungan," ujar Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.
Malaysia sendiri belum memberikan alasan mengapa itu dilakukan. Padahal ini mengabaikan instruksi pengadilan.
Sementara itu, empat anggota oposisi parlemen Malaysia menganggap deportasi pemerintah tak manusiawi. Ini disebut menghina keputusan hukum.
"Tindakan ini ... adalah gambaran jelas bahwa Malaysia tidak menghormati proses pengadilan yang sedang berlangsung dan menempatkan Malaysia dalam posisi buruk di depan HAM," kata mereka.
Amnesty International mengatakan pemerintah Malaysia berhutang penjelasan ke rakyat. Tentang mengapa mereka memilih untuk menentang perintah pengadilan.
"Deportasi berbahaya ini belum diteliti dengan baik dan menempatkan individu pada risiko besar," kata Direktur Eksekutif Amnesty Malaysia Katrina Jorene Maliamauv.
Di sisi lain, pejabat imigrasi Malaysia menegaskan tak ada pencari suaka atau etnis minoritas Rohingnya dalam deretan warga Myanmar yang dideportasi. Namun hal ini dipertanyakan aktivis.
Apalagi sejak 2019, otoritas Malaysia memblokir UNHCR dari area pusat penahanan imigrasi. Ini menyebabkan badan itu tak bisa mengetahui yang mana migran yang memiliki klaim suaka asli dan harus diizinkan tinggal di negeri itu.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Update Myanmar! Militer Janji 'Angin Surga' ke Pendemo
