Usai Bank Dunia & IMF, BI Ikut Pangkas Ramalan Ekonomi RI!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
19 February 2021 15:30
Bank Indonesia
Foto: Ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Satu lagi lembaga yang memangkas prospek perekonomian Indonesia untuk tahun 2021 setelah Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Lembaga tersebut tak lain dan tak bukan adalah bank sentral nasional yaitu Bank Indonesia (BI).

Dalam konferensi pers yang digelar virtual kemarin (18/2/2021), Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun ini diperkirakan berada pada kisaran 4,3%-5,3%, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya pada kisaran 4,8%-5,8%.

Perkiraan BI tersebut sejalan dengan realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2020. Proses pemulihan ekonomi di Indonesia akan berjalan secara gradual alias bertahap.

Pembatasan mobilitas publik yang masih diterapkan sampai saat ini terutama di regional Jawa dan Bali yang kontribusi terhadap output perekonomian nasionalnya besar masih berpotensi menekan perekonomian di kuartal pertama. 

Pertumbuhan ekonomi diperkirakan mulai terdongkrak pada kuartal kedua. Hal ini terjadi karena adanya fenomena low based effect akibat kontraksi perekonomian yang dalam pada kuartal kedua tahun lalu. 

Kemudian di kuartal ketiga dan keempat akan terjadi normalisasi pertumbuhan ekonomi. Dari sekian banyak institusi, baik pemerintahan, riset, keuangan melihat bahwa PDB tahun ini masih mampu tumbuh lebih dari 4%.

Kalau dilihat angkanya memang belum kembali ke laju sebelum pandemi Covid-19 di kisaran 5% per tahun. Indonesia masih perlu bersabar agar ekonominya benar-benar pulih dari Covid-19.

Apabila melihat berbagai rilis data yang ada untuk tahun 2021 ini progress pemulihan ekonomi juga masih berjalan lambat. Di sektor riil misalnya, volume penjualan mobil masih tertekan. 

Volume penjualan mobil secara wholesales di bulan Januari sebanyak 52.910 unit atau turun 8% (mom) dibanding bulan Desember 2020 yang mencapai 57.507 unit.

Sementara itu jika dibandingkan dengan bulan yang sama tahun 2020, volume penjualan anjlok 34% (yoy). Pada bulan pertama tahun lalu volume penjualan mobil secara wholesales mencapai 80.435 unit. 

Penjualan secara ritel juga masih tertekan. Buktinya volume mobil yang terjual ke pelanggan di bulan Januari 2021 hanya sebanyak 53.997 unit. Padahal di bulan Desember penjualannya mencapai 69.139 unit. Artinya ada penurunan sebesar 22% (mom).

Apabila dibandingkan dengan bulan Januari 2020, maka kontraksinya lebih besar. Volume penjualan kendaraan roda empat ini di awal tahun lalu tercatat mencapai 81.059 unit. Itu berarti terjadi kontraksi sekitar 33% (yoy).

Volume penjualan mobil yang masih rendah memiliki beberapa indikasi. Pertama adalah permintaan yang masih rendah. Kedua adalah konsumen masih menanti adanya insentif dari pemerintah yang kebetulan baru diketor melalui PPnBM dan DP nol persen.

Namun sejatinya mobil adalah barang mewah yang tidak semua masyarakat Tanah Air bisa beli. Apalagi di saat ada pandemi Covid-19 angka kemiskinan kembali ke dobel digit. Total penduuk miskin di Tanah Air mencapai 27,55 juta atau 10,19% dari total populasi.

Kenaikan angka kemiskinan membuat daya beli masyarakat tergerus. Indikator inflasi inti yang mencerminkan tingkat permintaan dari masyarakat juga terus melambat. Artinya ada masalah di sana. Masyarakat terutama yang tidak mampu masih bergantung pada bantuan yang diberikan oleh pemerintah. 

Kemudian dari sisi perdagangan, ekspor mulai meningkat di bulan Januari. Namun impor justru masih tertekan. Lagi-lagi impor yang tertekan masih mencerminkan permintaan domestik juga belum pulih benar. Padahal konsumsi rumah tangga menyusun hampir 2/3 dari PDB nasional.

Salah satu tools utama untuk mendongkrak perekonomian adalah bagaimana pemerintah menggunakan instrumen fiskalnya. APBN tahun ini dipatok sampai Rp 2.750 triliun. Anggaran terbanyak salah satunya adalah untuk bantuan sosial dan pembiayaan infrastruktur. 

Adanya SWF diharapkan mampu menjadi alternatif pembiayaan non-utang untuk proyek pembangunan infrastruktur yang memiliki dampak meluas seperti demand creation dan penciptaan lapangan kerja. 

Namun prospek cerah perekonomian nasional masih terjegal dengan upaya pengendalian Covid-19 yang dilakukan. Jumlah kasus harian Covid-19 memang turun. Namun tes yang dilakukan juga ikut turun. 

Progress vaksinasi pun juga berjalan dengan lambat. Sudah sebulan berjalan, rata-rata vaskin yang disuntikkan per harinya masih di bawah 100 ribu dosis. Padahal target pemerintah sangatlah ambisius. Tak tanggung-tanggung yaitu 1 juta dosis per hari.

Tren pemulihan yang gradual dan sangat sensitif oleh perubahan kebijakan serta pengendalian Covid-19 yang masih belum firm di Tanah Air menjadi salah satu contoh konkret mengapa banyak yang memangkas proyeksi pertumbuhan Indonesia. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg) Next Article 'Awan Gelap' yang Hantui Ekonomi Mulai Hilang, Tapi...

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular