
Bos Garuda Sebut Bombardier Tak Cocok Dipakai di RI, Kenapa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pihak manajemen PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) saat ini menyebutkan penggunaan Bombardier CRJ 1000 tak cocok untuk penumpang di Indonesia, sebab pesawat ini memiliki kapasitas bagasi yang sempit sehingga dinilai lebih cocok untuk perjalanan pulang-pergi (commuting).
Ketidakcocokan ini menimbulkan kerugian untuk operasional pesawat ini mencapai US$ 30 juta per tahun selama tujuh tahun terakhir. Angka ini belum termasuk biaya sewa pesawat yang mencapai US$ 27 juta per tahun.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan hal ini menjadi pertimbangan perusahaan untuk menyelesaikan lebih awal kontrak (early termination) dengan Nordic Aviation Capital (NAC), lessor pesawat asal Denmark.
"Yang jelas saat ini pesawat ini tidak cocok, cocoknya penggunaan commuting berangkat dan pulang di hari yang sama, rute tertentu. Penumpang biasanya kalau commuting tidak banyak barang. Sedangkan di Indonesia itu travel commuting itu nggak sering terjadi paling Jakarta-Bandung, Jakarta-Surabaya juga tidak banyak," kata Irfan dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Kamis (11/2/2021).
Kondisi terburuk dengan industri penerbangan yang terhantam oleh pandemi yang membuat perusahaan harus melakukan efisiensi bisnis, sebab jumlah penumpang yang turun drastis dan banyak pesawat tidak bisa terbang.
Dia menjelaskan, perusahaan telah berupaya untuk melakukan negosiasi dengan pihak NAC selama beberapa bulan terakhir untuk meminta early termination atas kontrak yang seharusnya berakhir pada 2027 mendatang. Sebab, jika dilanjutkan maka hal ini akan memberikan kerugian hingga US$ 220 juta kepada Garuda.
"Kami membuka situasi yang dihadapi dengan pesawat ini dan buka kemungkinan early termination, hentikan kontrak sebelum selesai. Dalam hal itu nego dilakukan berulang kali beberapa bulan terakhir, namun belum tercapai kesepakatan tertentu," tegasnya.
Secara total, Garuda melakukan nego atas 18 armada Bombardier. 12 di antaranya kepada NAC dan hingga negosiasi yang dilakukan beberapa bulan terakhir, perusahaan tak berhasil untuk mendapatkan kesepakatan hingga diputuskan secara sepihak untuk mengembalikan pesawat tersebut.
Sedangkan enam armada lainnya adalah kontrak kepada Export Development Canada (EDC) yang jatuh tempo tahun 2024. Namun proses negosiasi untuk early termination dengan EDC disebutkan masih berlangsung hingga saat ini.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Garuda Kalah dalam Gugatan Arbitrase, Begini Dampaknya