
Tegas! Selandia Baru Ogah Akui Myanmar di Bawah Rezim Militer

Jakarta, CNBC Indonesia - Kudeta militer yang dilakukan di Myanmar telah menjadi perhatian publik internasional. Sebagian besar mengecam aksi militer yang dianggap sewenang-wenang itu dan mencederai perkembangan demokrasi di Negeri Pagoda Emas.
Salah satu negara yang menentang dengan keras aksi militer Myanmar adalah Selandia Baru. Negara yang terletak di samping kutub selatan ini menangguhkan semua kontak tingkat tinggi dengan Myanmar dan memberlakukan larangan perjalanan pada para pemimpin militer. Hal itu menyusul kudeta yang diiringi penahanan aktivis demokrasi yang juga pemimpin de facto Aung San Suu Kyi.
"Pesan kuat kami adalah kami akan melakukan apa yang kami bisa lakukan dari sini di Selandia Baru dan salah satu hal yang akan kami lakukan adalah menangguhkan dialog tingkat tinggi itu ... dan memastikan dana apa pun yang kami berikan ke Myanmar tidak dengan cara apa pun mendukung rezim militer," kata Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern seperti dilaporkan Channel News Asia, Selasa (9/2/2021).
Ardern juga menambahkan program-program bantuan yang diberikan kepada Myanmar dipastikan tidak akan menguntungkan pihak militer yang kini berkuasa. Program bantuan Selandia Baru ke Myanmar bernilai sekitar 42 juta dollar Selandia Baru atau sekitar Rp 42 miliar antara 2018 dan 2021.
Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri Luar Negeri Nanaia Mahuta mengatakan Selandia Baru tidak mengakui keabsahan pemerintah yang dipimpin militer. Selandia Baru pun meminta militer segera membebaskan semua pemimpin politik yang ditahan dan memulihkan pemerintahan sipil.
Kudeta terjadi di Myanmar pada 1 Februari lalu. Kudeta ini diawali oleh penahanan Suu Kyi bersama Presiden Win Myint dan para pemimpin lainnya oleh kelompok militer.
Penahanan yang berujung kudeta itu dilakukan setelah berhari-hari ketegangan meningkat antara pemerintah sipil dan junta militer. NLD besutan Aung San Suu Kyi meraih kemenangan gemilang dalam pemilu 8 November lalu, pemilihan yang dianggap bebas dan adil oleh pengamat internasional sejak berakhirnya kekuasaan militer langsung pada tahun 2011.
Namun, kelompok militer menilai terjadi kecurangan pemilih yang meluas meski sudah dibantah oleh komisi pemilihan. Hal itu telah menyebabkan konfrontasi langsung antara pemerintah sipil dan militer.
Pemimpin tertinggi Tatmadaw Jenderal Senior Min Aung Hlaing bersikeras kudeta militer adalah langkah yang dibenarkan. Ia masih berdalih pemilu yang dilakukan November itu curang sehingga harus diadakan kembali. Dalam melaksanakan pemilu ulang, pihak militer menetapkan status darurat nasional selama setahun ke depan.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article No Jab No Fly, Negara Ini Makin Ketat Gara-Gara Kasus Baru!