
Mungkinkah Produksi Minyak RI Capai 1 Juta Barel Per Hari?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah punya target produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari (bph) pada tahun 2030 mendatang. Namun target ini diragukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahkan target ini disebut hanyalah mimpi.
Hal tersebut diungkapkan salah satu Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Kardaya Warnika. Dia menyebut sudah melakukan diskusi dengan semua pihak termasuk perusahaan minyak dan gas bumi (migas).
Kardaya menyebut rencana ini tidak ditunjang dengan upaya yang logis. Misalnya kegiatan Enhanced Oil Recovery (EOR) yang merupakan salah satu upaya mengejar target 1 juta bph seperti di lapangan Minas, Blok Rokan tidak akan ekonomis jika harga minyak di bawah US$ 70 per barel.
"EOR proses produksi minyak yang paling mahal, misal (harga minyak) Minas kurang dari US$ 70 per barel, jadi nggak ekonomis," ungkap Kardaya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (08/02/2021).
Saat ini, imbuhnya, berdasarkan laporan yang disampaikan kepada DPR, formula EOR yang akan digunakan untuk lapangan Minas, Blok Rokan, belum ada. Tapi diperkirakan pada tahun depan, berdasarkan rencana pengembangan atau Plan of Development (PoD), akan dilakukan penginjeksian EOR.
"Apa yang akan diinjeksikan, kalau formula belum ada. Kita ada pengalaman dengan ada pengalaman dengan surfaktan ini, kita ingin ini dilakukan dengan profesional dan hati-hati," jelasnya.
Menurutnya, penginjeksian surfaktan dalam kegiatan EOR di Blok Rokan harus dilakukan dengan hati-hati karena masuk dalam asumsi penerimaan negara dan juga biaya yang dikembalikan pemerintah (cost recovery).
"Jika angka tidak kredibel, tidak masuk akal, nanti pengeluaran negara kacau balau, realisasi ujungnya minus, ujungnya terpaksa kita hutang lagi untuk menutupi. Jangan main-main, ini yang disampaikan angka produksi minyak," tegasnya.
Halaman 2>>>
Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, untuk mencapai target ini, eksplorasi harus digenjot demi mendapatkan temuan baru. Lapangan sudah banyak yang tua, sehingga cadangan semakin berkurang.
"Eksplorasi masih sedikit sekali, dalam tiga tahun terakhir belum ada penemuan cadangan migas yang signifikan," kata Mamit.
Menurutnya cadangan minyak Indonesia saat ini tidak terlalu banyak, sehingga pesimistis untuk bisa mencapai target 1 juta bph pada 2030, meskipun Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melakukan berbagai upaya.
"Cadangan tidak terlalu banyak, buat saya 1 juta bph itu impian. Realisasi, saya agak pesimis bisa tercapai dalam sembilan tahun ke depan," paparnya.
Lebih lanjut Mamit mengatakan, target 1 juta bph ini menjadi tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Selain Kementerian ESDM, SKK Migas juga bertanggung jawab melakukan pengawasan kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
"Jadi, kalau saya melihat ini memang harus menjadi tanggung jawab pemerintah, Kementerian ESDM dan SKK Migas, karena jelas wacana ini dari pemerintah," paparnya.
Sisa waktu 9 tahun dia sebut sangat berat dengan kondisi saat ini ketika banyaknya tantangan sektor migas. Apalagi, lanjutnya, lapangan-lapangan migas sudah mengalami penurunan produksi cukup besar.
"Buat saya sembilan tahun ke depan bukan waktu yang panjang. Untuk produksi minyak, prosesnya sangat panjang, dengan kondisi sekarang cadangan 22 miliar barel, pak Menteri bilang sembilan tahun akan habis kalau tidak ada temuan cadangan minyak baru," tuturnya.
Meski menurutnya sulit tercapai, namun target tersebut tidak perlu direvisi agar bisa menjadi cambuk bagi pemerintah dan SKK Migas dalam menggenjot produksi.
"Sehingga impian ini bisa dicapai dan akhirnya happy ending mudah-mudahan," harapnya.
Halaman 3>>>
Perusahaan minyak tengah menantikan Revisi Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Seperti diketahui, Revisi UU Migas ini sudah mangkrak cukup lama sampai hampir satu dekade.
Praktisi Migas Widhyawan Prawiraatmadja meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi VII agar segera merampungkan Revisi UU Migas ini karena UU Migas ini bakal menjadi kepastian hukum bagi para pelaku usaha.
"Revisi UU Migas ini sudah lama, hampir sembilan tahun nggak jadi-jadi. Kalau bisa, Revisi UU Migas diselesaikan," ungkapnya.
Hal senada disampaikan Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan. Dia mengatakan yang dibutuhkan investor adalah kepastian hukum di mana Revisi UU Migas yang dinantikan sampai hari ini belum juga rampung.
Menurutnya, dengan adanya kepastian hukum, maka ini akan membuat investor semakin tertarik untuk berinvestasi di Tanah Air. Dengan demikian, target peningkatan produksi minyak yang telah ditentukan pemerintah bisa tercapai.
"Kendala saat ini buat saya adalah kepastian hukum. Sejauh ini Revisi UU Migas belum selesai. Ini adalah salah satu kunci investasi yang diharapkan investor," jelasnya.
SKK Migas sampai saat ini belum ada kekuatan hukum tetap karena masih diatur dalam Perpres. Masalah ini, imbuhnya, harus dirampungkan bersama dengan sejumlah masalah lainnya.
"Bicara posisi SKK Migas, hanya dibentuk Perpres. Teman-teman SKK melakukan pengawasan, mereka juga butuh kepastian badan, sewaktu-waktu bisa dibubarkan kembali," paparnya.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Minyak RI Sunset, DPR: Jangan Takut Gelar Karpet Merah Asing
