Jakarta, CNBC Indonesia - Duo lembaga keuangan global yang bermarkas di Washington DC (Amerika Serikat) yaitu Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia kompak memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun ini. Ada apa gerangan?
Dalam laporannya yang bertajuk Global Economic Prospects edisi Januari 2021, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun ini sebesar 4,4% atau 0,4 poin persentase lebih rendah dari perkiraan Juni lalu.
Sementara itu IMF juga merevisi turun prospek pertumbuhan output ekonomi Indonesia di tahun ini sebesar 1,3 poin persentase lebih rendah dari proyeksi Oktober 2020. Dalam laporan IMF pertumbuhan PDB RI diramal naik 4,8% tahun ini.
Lantas sebenarnya apa yang membuat dua institusi finansial hasil Perjanjian Bretton Woods tersebut memangkas prospek perekonomian Tanah Air?
Sebenarnya risiko yang dihadapi oleh perekonomian global masih sama yaitu pandemi Covid-19. Kasus kumulatif penderita Covid-19 di Indonesia sudah melampaui angka 1 juta orang. Tren perkembangan kasus masih terus meningkat dengan pesat.
Rendahnya jumlah tes yang dilakukan dan angka penularan yang tinggi membuat tingkat kasus positif (positivity rate) mengalami kenaikan. Positivity rate di Indonesia sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan karena jauh di atas standar WHO 5%.
Mau tak mau pemerintah harus melakukan pengetatan. Sejak awal Januari tahun 2021, pemerintah memutuskan untuk menutup diri dari kunjungan warga negara asing (WNA). Lewat kebijakan PPKM yang dulunya bernama PSBB, aktivitas di Jawa dan Bali dibatasi.
Namun sayang meski sudah berjalan lebih dari dua minggu, kebijakan ini seolah tak memberikan hasil yang optimal. Kasus Covid-19 masih terus meningkat. Peningkatan kasus tentu saja menjadi permasalahan yang serius.
Adanya kegiatan PPKM tentu saja akan menekan kinerja perekonomian nasional untuk kuartal pertama ini. Namun jika dibandingkan dengan kuartal keempat tahun lalu pertumbuhan di kuartal pertama tahun ini dinilai bakal lebih baik meski moderat.
Riset Office of Chief Economist (OCE) Mandiri memperkirakan pertumbuhan output nasional bakal berada di 4,43% tahun ini dengan pemulihan yang bersifat gradual yang membentuk pola nike swoosh.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai puncaknya pada kuartal kedua tahun 2021 karena adanya fenomena low based effect. Maklum pada kuartal kedua tahun 2020, PDB RI menyusut lebih dari 5% ketika awal-awal PSBB diterapkan.
Kemudian pertumbuhan ekonomi akan mulai mengalami fase normalisasi pada kuartal ketiga dan keempat tahun 2021.
Sebenarnya ada beberapa katalis yang diharapkan bisa menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Pertama tentunya dari kebijakan fiskal pemerintah yang masih akan front loading terutama untuk vaksinasi dan pemberian bantuan sosial.
APBN 2021 dipatok sebesar Rp 2.750 triliun. Sebanyak Rp 408,8 triliun dialokasikan untuk program perlindungan sosial. Alokasi APBN untuk kesehatan mencapai Rp 169,7 triliun yang termasuk di dalamnya ada anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 61,84 triliun.
Selain itu pemerintah juga akan kembali menggeber agenda pembangunan infrastrukturnya. Tak tanggung-tanggung anggaran senilai Rp 417,4 triliun digelontorkan untuk menggarap berbagai proyek strategis nasional.
Dengan dilanjutkannya program pembangunan infrastruktur besar harapannya perekonomian nasional ikut terdongkrak karena meningkatkan permintaan domestik serta menyerap tenaga kerja.
Pengesahan UU Cipta Kerja dan adanya lembaga investasi SWF juga dinilai positif untuk perekonomian nasional. Era suku bunga rendah telah mendorong aliran dana keluar dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dengan adanya SWF aliran modal asing akan tertampung dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional dan tidak hanya jadi uang panas yang masuk lewat investasi portofolio saja.
SWF yang diberi nama Indonesia Investment Authority (INA) tersebut bakal menjadi opsi pembiayaan yang sifatnya non-utang untuk berbagai proyek pembangunan infrastruktur nasional.
Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter berjanji untuk mempertahankan suku bunga rendah dan likuiditas berlimpah. BI masih punya ruang untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut di tahun ini. Namun amunisi tersebut peluangnya kecil dikeluarkan oleh Gubernur Perry Warjiyo dan rekan.
Bank sentral nasional juga masih akan tetap mengamankan pasokan likuiditas melalui kesepakatan dengan pemerintah untuk menyerap Surat Berharga Negara (SBN). Seperti tahun lalu, BI akan tetap membeli surat utang pemerintah di pasar perdana.
Adanya program vaksinasi masal juga menjadi katalis yang positif. Namun sayang perkembangannya cenderung berjalan lambat.
Program vaksinasi massal juga sudah dijalankan sejak pertengahan Januari setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai vaksin CoronaVac suci dan halal serta BPOM memberi lampu hijau untuk penggunaan darurat karena memiliki tingkat keampuhan teoritis 65,3% di atas standard WHO 50%.
Presiden Joko Widodo bahkan sudah menerima suntikan kedua vaksin Covid-19 akhir Januari lalu. Namun vaksinasi di Tanah Air berjalan dengan lambat. Target utama vaksinasi Covid-19 adalah kekebalan komunal (herd immunity).
Untuk bisa ke sana, setidaknya 70% atau sekitar 160 juta orang dari total populasi penduduk RI harus divaksinasi. Apabila target herd immunity ingin dicapai dalam waktu 1 tahun maka jumlah orang yang harus divaksinasi setiap harinya mencapai 481.178. Karena satu orang membutuhkan dua kali suntikan (2 dosis) maka total dibutuhkan 962.356 dosis per hari.
Berdasarkan data Our World in Data, total dosis vaksin yang sudah diberikan di Indonesia per 31 Januari 2021 adalah 515.681. Artinya rata-rata dosis yang diberikan adalah 52.348 per hari, sangat jauh di bawah target.
Apabila vaksinasi terus berjalan dengan lambat Indonesia bisa saja kehilangan momentum untuk pulih lebih cepat. Pada akhirnya meski prospek dinilai bakal lebih positif di tahun ini, pandemi Covid-19 masih menjadi ancaman terbesar bagi perekonomian.
TIM RISET CNBC INDONESIA