Jadi Raja Baterai, Ekonomi RI Bisa Melonjak Rp 364 T di 2030

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
02 February 2021 19:15
Ilustrasi baterai pada mobil listrik yang dikemas dalam komponen yang aman. electrec.co
Foto: Ilustrasi baterai pada mobil listrik yang dikemas dalam komponen yang aman. electrec.co

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia punya cita-cita menjadi raja baterai di tingkat global. Bila ini terjadi, maka diperkirakan bisa berdampak pada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB/ GDP) Indonesia yang berpotensi mencapai US$ 26 miliar atau sekitar Rp 364 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$) pada 2030 mendatang.

Hal tersebut disebutkan Ketua Tim Percepatan Proyek Baterai Kendaraan Listrik Agus Tjahajana Wirakusumah saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Senin (01/02/2021).

Agus mengatakan, asumsi peningkatan GDP pada 2030 tersebut dengan asumsi produksi baterai sebesar 140 Giga Watt hour (GWh). Dengan demikian, ini akan berdampak besar pada penyerapan tenaga kerja nantinya.

"Bila Indonesia jadi pemain baterai EV, maka akan berdampak pada GDP sekitar US$ 26 miliar di 2030. Dengan produksi kapasitas 140 giga (GWh). Akan diperoleh dampak ciptakan tenaga kerja," ungkapnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VII DPR RI, Senin (01/02/2021).

Secara rinci, potensi peningkatan GDP tersebut berasal dari dampak pada GDP saat Indonesia menjadi produsen global nickel sulphate sebesar 150 ribu ton per tahun, yakni memproses 100% bijih nikel menjadi NiSO4 untuk diekspor ke pasar global. Dengan menjadi produsen nickel sulphate ini, maka GDP yang dihasilkan akan mencapai sebesar US$ 3,6 miliar. Serta menyerap tenaga hampir 10.000 pekerja.

Lalu, menjadi pemain global untuk precursor dan katoda baterai sebanyak 270 ribu ton, yakni memproses 100% nikel menjadi katoda untuk diekspor, maka akan berdampak pada GDP sebesar US$ 5,7 miliar dan menyerap lebih dari 5.000 tenaga kerja.

Kemudian ketika menjadi pemain global untuk baterai kendaraan listrik atau sistem penyimpanan energi (Energy Storage System/ ESS) dan menjadi pemain regional untuk baterai kendaraan listrik (BEV) dengan kapasitas 140 GWh untuk sel baterai, 12 GWh pack untuk BEV dan ESS, yakni memproses 70% nikel hingga sel baterai di mana 90% diekspor dan 10% untuk EV dan ESS domestik, maka ini diperkirakan akan berdampak pada GDP sebesar US$ 16,4 miliar dan menyerap pekerja hampir 9.000 pekerja.

"Jika dikembangkan dalam skala besar, maka selain diperoleh US$ 25,8 miliar, tenaga kerja bisa bangkit sekitar 23.500 orang," jelasnya.

Sementara itu, Wakil Menteri I BUMN Pahala Nugraha Mansury mengatakan Indonesia punya posisi kuat dalam membangun industri baterai EV. Menurutnya Indonesia merupakan salah satu ekonomi global terbesar ketujuh dunia pada 2020.

"Bahkan, akan jadi ekonomi terbesar di dunia pada 2030-2045 dan kontribusi Indonesia jika jadi negara terbesar nomor lima. Ekonomi ini kaitannya dengan energi," ungkapnya dalam diskusi tentang mobil listrik, Selasa (02/02/2021).


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mimpi Raja Mobil Listrik, Jokowi Utus Luhut ke AS Temui Tesla

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular