PPKM Kurang Nendang! RI Perlu Lockdown, Pak Jokowi?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
02 February 2021 17:10
Pemakaman Covid-19 di TPU Tegal Alur, Jakarta Bara
Foto: Pemakaman Covid-19 di TPU Tegal Alur, Jakarta Barat. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia mendapat peringkat yang buruk dalam hal penanganan pandemi Covid-19. Studi lembaga think tank global Lowy Institute bahkan menempatkan Indonesia di peringkat ke-85 dari 95 negara dalam upaya pengendalian wabah.

Di kawasan Asia Tenggara bahkan Indonesia berada di peringkat terakhir dan kalah dengan Filipina. Jangan kaget, memang beginilah fakta yang ada.

Tren pertambahan kasus baru dan kematian akibat Covid-19 terus meningkat per harinya. Padahal jumlah tes yang dilakukan tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini membuat tingkat kasus positif (positivity rate) di Indonesia melesat. 

Positivity rate adalah salah satu indikator keberhasilan penanganan wabah. WHO menyebut bahwa jika angka kasus positif selama dua pekan berturut-turut berada di bawah 5% maka pelonggaran mulai bisa dilakukan. 

Di Tanah Air, positivity rate bukannya turun malah semakin menjauhi ambang batas 5%. Selain karena jumlah tesnya tidak memadai, penularan penyakit semakin tak terkendali. Lihat saja, tingkat kasus positif di dalam negeri masih tetap di atas 25%.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin (BGS) menyoroti dan mengkritisi cara Indonesia dalam melakukan tes. Menurutnya kendati jumlah tes terus meningkat tetapi orang yang dites adalah orang-orang yang cenderung sama terutama bagi mereka yang hendak bepergian. 

Ia mencontohkan dirinya harus berulang kali melakukan tes PCR swab untuk bisa mobile bahkan untuk bertemu dengan Presiden. Hal ini tentu saja membuat tes yang dilakukan tidak menggambarkan kondisi riil di lapangan. Secara gamblang tes yang dilakukan pun menjadi percuma saja.

Awal 2021, pemerintah semakin memperketat pembatasan sosial dan menutup diri. Mulai 1 Januari warga negara asing (WNA) dilarang masuk ke RI. Pada pertengahan Januari pemerintah memutuskan untuk membatasi berbagai aktivitas terutama di Pulau Jawa dan Bali lewat kebijakan PPKM.

Namun sudah lebih dari dua pekan dilakukan, tren pertambahan kasus baru tidak kunjung melandai. Kasus aktif terus bertambah. Hal ini membuat tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit rujukan melebihi 70%. 

Para dokter dan tenaga kesehatan yang terbatas menjadi kewalahan menangani pandemi Covid-19. 

Jika kondisi ini terus berlarut-larut maka ekonomi Indonesia bisa semakin sekarat. Stimulus fiskal senilai Rp 744,28 triliun (per November 2020) menjadi semakin kurang efektif untuk mendongkrak perekonomian nasional.

Hari ini Indonesia kedatangan lagi 10 juta dosis vaksin dari Sinovac. Program vaksinasi massal juga sudah dijalankan sejak pertengahan Januari setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai vaksin CoronaVac suci dan halal serta BPOM memberi lampu hijau untuk penggunaan darurat karena memiliki tingkat keampuhan teoritis 65,3% di atas standard WHO 50%. 

Presiden Joko Widodo bahkan sudah menerima suntikan kedua vaksin Covid-19 akhir Januari lalu. Namun vaksinasi di Tanah Air berjalan dengan lambat. Target utama vaksinasi Covid-19 adalah kekebalan komunal (herd immunity).

Untuk bisa ke sana, setidaknya 70% atau sekitar 160 juta orang dari total populasi penduduk RI harus divaksinasi. Apabila target herd immunity ingin dicapai dalam waktu 1 tahun maka jumlah orang yang harus divaksinasi setiap harinya mencapai 481.178. Karena satu orang membutuhkan dua kali suntikan (2 dosis) maka total dibutuhkan 962.356 dosis per hari.

Sayangnya sejak vaksinasi dijalankan, perkembangannya terbilang lelet. Berdasarkan data Our World in Data, total dosis vaksin yang sudah diberikan di Indonesia per 31 Januari 2021 adalah 515.681. Artinya rata-rata dosis yang diberikan adalah 52.348 per hari, sangat jauh di bawah target.

Sebagai negara dengan populasi yang besar dan wilayah geografis yang terfragmentasi, melakukan program vaksinasi masal dalam waktu singkat menjadi tantangan besar yang harus dihadapi oleh pemerintah RI.

Sementara program vaksinasi Covid-19 dijalankan, masyarakat Indonesia harus tetap menjalankan protokol kesehatan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak) saat beraktivitas.

Pemerintah juga harus terus menggenjot 3T (testing, tracing dan treatment). Namun selama ini kebijakan ini masih jauh dari kata optimal. Padahal pandemi Covid-19 sudah hampir 1 tahun merebak di dalam negeri.

Indonesia membutuhkan kebijakan lain yang lebih tegas (bold) untuk menangani pandemi. Salah satu opsi yang tersisa saat ini adalah lockdown ketat.

Kendati dampak ke perekonomiannya akan sangat serius dan menimbulkan pro-kontra tetapi jika melihat negara-negara yang menerapkan lockdown cenderung berhasil menekan pandemi walau masih diterpa gelombang infeksi lanjutan karena vaksin yang benar-benar ampuh dan teruji belum tersedia.

Di negara-negara Eropa seperti Inggris dan Jerman, lockdown terbukti mampu menekan angka pertambahan kasus harian hingga lebih dari 50% dalam kurun waktu satu bulan.

Meski terbukti berhasil menekan pertambahan kasus, lockdown di dua perekonomian terbesar Eropa tersebut bukan tanpa protes keras dari masyarakatnya. Apabila RI berniat untuk lockdown salah satu tantangan terbesarnya adalah kultur masyarakat.

Selain kultur masyarakat, tantangan lainnya adalah kapasitas pemerintah terutama terkait ruang fiskal yang sudah semakin sempit dengan bengkaknya APBN lebih dari 5% di tahun 2020.

Agar lockdown bisa efektif pemerintah perlu menggunakan strategi komunikasi publik yang yang efektif di mana ini menjadi poin yang kurang selama ini dan banyak disoroti berbagai pihak. 

Selain harus menjamin pasokan kebutuhan masyarakat saat lockdown, pemerintah juga perlu menggenjot 3T menambah kapasitas dan fasilitas rumah sakit serta ketersediaan tenaga kerja. Vaksinasi juga harus terus digeber. 

Sekali lagi, butuh bold decision untuk membawa keluar Indonesia dari tragedi kemanusiaan abad ini akibat pandemi Covid-19. Namun ingat juga yang tidak kalah penting adalah koordinasi dan keselarasan kebijakan antar lembaga pemerintahan dan pusat dengan daerah.

Jangan sampai kesalahan saat awal pandemi karena perbedaan sikap antara pusat dan daerah dan antar kementerian malah menjadikan ongkos penanganan pandemi semakin mahal.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular