Moody's Sebut Asia Paling Tahan Krisis Covid-19, Tapi...

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
27 January 2021 12:25
Earns Moodys
Foto: Moody's (AP Photo/Mark Lennihan, File)

Jakarta, CNBC Indonesia - Moody's Investor Service (Moody's) melihat prospek ekonomi yang lebih cerah untuk kawasan Asia dalam laporan riset terbarunya. Asia dinilai sebagai kawasan yang lebih mampu bertahan dari tekanan akibat pandemi Covid-19.

Sebagai benua terbesar di dunia dengan lebih dari 40 negara, Asia dihuni oleh negara-negara emerging market dengan pertumbuhan ekonomi yang kinclong. Namun di tengah gempuran wabah yang dipicu oleh virus Corona jenis baru (SARS-CoV-2), ekonomi Asia pun loyo.

Kendati mengalami penurunan kinerja di tahun 2020, perekonomian Asia diramal lebih bergeliat di tahun ini. Tidak hanya Moody's saja yang memproyeksikan hal tersebut, lembaga keuangan global seperti Bank Dunia juga memperkirakan hal yang serupa.

Asia akan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2021. Semua itu tentu tak lepas dari peran China. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia berdasarkan produk domestik bruto (PDB) nominal, Moody's memprediksi perekonomian China bakal tumbuh 7% tahun ini.

Sebagai negara yang paling awal terdampak, China berhasil lepas dari jerat wabah Covid-19 lebih dulu. Ketika ekonomi global jatuh ke dalam resesi terbesar sejakThe Great Depression 1929, China mampu bangkit lebih awal dan konsisten mencatatkan ekspansi output perekonomian dalam tiga kuartal beruntun di tahun lalu.

Ekonomi China yang bersemi tentu akan memberikan dampak bagi negara lain. Negara-negara yang menjadi mitra dagang maupun memiliki keterkaitan dengan rantai pasok China seperti Korea Selatan dan Taiwan akan diuntungkan.

Ini menjadi salah satu alasan mengapa Moody's melihat Asia lebih tahan terhadap gempuran krisis kesehatan akibat Covid-19 yang berubah menjadi malapetaka berupa kontraksi perekonomian global yang dalam.

Kawasan Asia juga ditopang oleh ketahanan eksternal kuat yang tercermin dari defisit transaksi berjalan (CAD) yang lebih rendah dari kawasan lain. Dalam laporannya Moody's memperkirakan CAD Asia berada di bawah minus 3% PDB. Sementara yang terburuk adalah Afrika dengan defisit yang mencapai lebih dari 6% PDB.

Rendahnya CAD di kawasan Asia tentu membuat risiko terjadinya tekanan pada kredit akibat adanya aliran modal keluar (outflows) menjadi lebih kecil dibanding wilayah lain.

Ongkos penanganan pandemi tidaklah kecil. Pemerintah harus menanggung beban besar dengan menggelontorkan berbagai stimulus fiskal di tengah penurunan pada penerimaan pajak.

Jelas respons stimulus fiskal antar negara di kawasan Asia berbeda-beda. Ada yang jor-joran memberikan bantuan seperti Jepang, Singapura dan Malaysia ada pula yang cenderung terhambat karena memiliki ruang fiskal yang sempit.

Beberapa negara dengan ruang fiskal yang sempit tentu akan lebih susah untuk berperan secara agresif dalam menstimulasi perekonomian. Beberapa negara yang masuk ke dalam catatan Moody's untuk kawasan Asia adalah regional Asia Selatan.

India sebagai negara dengan populasi terpada kedua di dunia setelah China sudah banyak menumpuk utang. Sementara Pakistan dan Sri Lanka membutuhkan pembiayaan eksternal yang besar.

Kendati rasio utang terhadap pendapatan nasional Indonesia tergolong rendah dibanding negaraemerging marketlain, Indonesia juga menjadi sorotan Moody's. Menurut unit usaha lembaga pemeringkat utang global itu Indonesia memiliki eksposur material terhadap utang dalam mata uang asing dan basis pendapatan yang lemah.

Tentu saja hal ini akan membebani keterjangkauan dari utang itu sendiri.

Lebih lanjut Moody's menilai bahwa prospek pemulihan ekonomi di tahun 2021 untuk kawasan Asia masih tetap tidak merata. Pemicunya adalah batasan kemampuan pemerintah untuk memberikan dukungan fiskal lebih lanjut kepada rumah tangga dan bisnis.

Kendati berbagai stimulus baik fiskal maupun moneter dalam jumlah jumbo sudah digelontorkan, tetapi Moody's menilai bahwa jumlah tersebut tidak akan cukup untuk sepenuhnya mengimbangi efek negatif pada pertumbuhan jangka pendek di kawasan Asia maupun global.

Keseluruhan aktivitas ekonomi dan standar hidup untuk sebagian besar Asia pada tahun 2021 akan lebih rendah dari level sebelum krisis. Sebagian besar ekonomi negara-negara kawasan Asia belum akan kembali ke level normal pra-krisis sebelum 2022-23.

Dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 dinilai permanen oleh Moody's. Hilangnya output perekonomian di kawasan Asia tentu berdampak pada kualitas kredit. Proporsi utang pemerintah, perbankan hingga korporasi yang mendapat outlook negatif dari Moody's mengalami kenaikan di tahun 2021.

Di tingkat negara, prospek pertumbuhan yang berpotensi melemah dan berlanjutnya ketidakpastian seputar perdagangan, tensi geopolitik, krisis kesehatan, serta eksposur ke sektor komoditas dan pariwisata, akan membebani peningkatan pendapatan.

Beban hutang akan tetap lebih tinggi dari tingkat sebelum pandemi untuk beberapa waktu, sementara keterjangkauan hutang akan memburuk untuk negara dengan kualitas kredit yang paling lemah.

Di sektor perbankan, era suku bunga rendah dan biaya kredit yang tinggi akan menekan profitabilitas.

Pemulihan ekonomi yang tidak merata di Asia dan berkurangnya dukungan pemerintah secara bertahap juga akan membebani kualitas aset bank sampai batas tertentu akibat memburuknya kemampuan pembayaran hutang dan meningkatnya risiko gagal bayar dari perusahaan yang lebih lemah.

Namun, hal ini sebagian diatasi dengan program restrukturisasi dan moratorium pinjaman.

Meskipun sebagian besar perusahaan non-keuangan yang dinilai untuk kawasan Asia masih akan mempertahankan akses yang kuat ke pendanaan, risiko pembiayaan kembali (refinancing) tetap ada untuk perusahaan yang memiliki kualitas rendah dengan likuiditas yang lemah.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg) Next Article Josss, Fitch Ramal Ekonomi RI Bisa Tumbuh 5,46%! Tapi...

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular