Apa Benar Tambang Jadi Biang Kerok Banjir Kalsel?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
20 January 2021 19:30
INFOGRAFIS ,Tambang-Tambang Raksasa di Indonesia
Foto: ist

Hal senada diungkapkan Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho. Dia mengatakan, pihaknya menduga salah satu penyebab banjir besar di Kalsel ini yaitu rusaknya ekosistem lingkungan, dalam hal ini daya dukung lingkungan.

"Dalam hal ini, kami menduga, kombinasi antara hilangnya tutupan kawasan hutan akibat alih fungsi kawasan hutan, khususnya pertambangan dan perkebunan, tumpang tindih kawasan hutan dengan kawasan pertambangan, buruknya tata ruang, rusaknya kawasan hutan di hulu maupun daerah aliran sungai (DAS)," paparnya.

Tak tanggung-tanggung, menurutnya membludaknya jumlah Izin Usaha Pertambangan selama satu dekade terakhir ini menjadi penyebab utama bencana ini.

"Kami menduga buruknya tata kelola pertambangan sepanjang satu dekade terakhir menjadi salah satu penyebab utama kerusakan ekosistem lingkungan ini," ujarnya.

Dia mengatakan, koordinasi dan supervisi (Korsup) Sektor Minerba yang diinisiasi KPK sepanjang 2014-2019 menemukan sejumlah masalah, termasuk di Provinsi Kalimantan Selatan.

Dia menyebutkan, temuan Korsup KPK 2014-2019 di Kalsel antara lain:
1. IUP Non CnC (Clean and Clear) 441 (tahun 2014)
2. IUP Habis Masa Berlaku per Desember 2016 sebanyak 546, setara 591 ribu Ha
3. Tumpang tindih IUP dengan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung
4. IUP belum menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang

Meskipun sepanjang 2014-2019 sejalan dengan pelaksanaan Korsup telah dilakukan pencabutan IUP Non CnC maupun penagihan jaminan reklamasi, namun menurutnya masih menimbulkan pertanyaan, bagaimana status lahan IUP yang dicabut, siapa yang bertanggung jawab ketika ada kerusakan dengan IUP yang dicabut tersebut? Bagaimana tindak lanjut persoalan tata kelola pertambangan pasca Korsup Minerba KPK yang berakhir 2019 tersebut?

"Akibatnya, satu dekade tata kelola pertambangan yang buruk bisa kita lihat ini, banjir besar di Kalimantan Selatan," ujarnya.

"Tanpa adanya upaya perbaikan tata kelola pertambangan, termasuk perkebunan, kehutanan dari hulu sampai hilir, persoalan banjir tidak akan selesai," imbuhnya.

Organisasi di bidang lingkungan, yakni Greenpeace pun berpendapat serupa. Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menuturkan pihaknya juga berpendapat bahwa penyebab deforestasi terbesar di Kalimantan saat ini yaitu perkebunan sawit dan pertambangan batu bara.

Di area DAS Barito tutupan hutan menurutnya sudah di bawah 50%, sedangkan di area DAS Maluka, tutupan hutan bahkan tidak sampai 1%.

"Jadi, kita lihat masifnya ekspansi industri ekstraktif, baik sawit maupun batu bara telah menghancurkan daya tahan lingkungan," ujarnya.

Dia mengatakan, pelepasan izin yang masif dilakukan selama 10 tahun terakhir telah nyata dengan melihat dampaknya saat ini.

"Bencana yang kita saksikan saat ini adalah kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Alih-alih industri ekstraktif digadang-gadang menjadi prioritas ekonomi Indonesia, justru menimbulkan kehancuran ekologis," pungkasnya.

(wia)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular