
Pengusaha Buka-bukaan Soal 'Harta Karun' Ekspor RI Rp 500 T

Jakarta, CNBC Indonesia - Melimpah ruah sumber daya alam (SDA) Indonesia ternyata belum sepenuhnya tergali optimal. Potensi besar datang dari komoditas sarang burung walet.
Nilai ekspor dalam setahun bila dimaksimalkan mencapai angka Rp 500 triliun. DenganĀ ekspor langsung dari Indonesia, potensi itu bisa tercapai.
Sayangnya, untuk menghasilkan angka sebesar itu tidak mudah, Indonesia harus bisa mendapat izin agar komoditas ini bisa mulus tiba di negara tujuan. Negara yang paling besar menyerap ekspor sarang burung walet dari Indonesia adalah China.
"Jalur resmi ke China ada 23 perusahaan. Ada lagi jalur yang nggak resmi, bisa lewat Hong Kong, Vietnam itu lebih besar, volume under value ini 4-5x lipat dari jalur resmi," kata Ketua umum Perkumpulan Pengusaha Sarang Burung Indonesia (PPSBI) Boedi Mranata kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (19/1/2021).
Perusahaan dengan penjualan melalui jalur resmi adalah eksportir yang sudah mengantungi Eksportir Terdaftar Sarang Burung Walet (ET-SBW). Jumlah perusahaan yang masuk kategori itu sangat kecil dibanding yang masuk lewat jalur tidak resmi alias black market.
Kontribusi antara keduanya timpang dengan jumlah ekspor dari perusahaan resmi jauh lebih sedikit dibanding ilegal. Sayangnya, nilai per kilo sarang burung walet antara keduanya juga ikut timpang.
"Tanpa ET bisa aja, namanya nggak ada ketentuan bisa aja under value harganya sekitar Rp 600 ribu per Kg. Sedangkan yang ada ET kira-kira diambil rata-rata di atas Rp 20 juta/Kg," kata Boedi.
Alhasil, untuk meningkatkan devisa negara maka jumlah ekspor sarang burung walet harus lebih banyak yang melalui jalur resmi. Dari sini pemerintah bisa mendulang devisa triliunan rupiah, Menteri Perdagangan M. Lutfi bahkan menyebut nilainya mencapai Rp 500 triliun.
"Dengan diadakan ET maka harga-harga distandarisasi, nggak ada 600 ribu, mungkin per Kg Rp 10-15 juta, jadi akan melonjak devisa karena under value udah makin dikit. Itu yang dibahas Pak Lutfi, kalau dengan kebijakan ET maka devisa melonjak meskipun sebenarnya produksi sarang burung segitu aja. Dengan regulasi anyar maka under value bisa dicegah dan devisa menurut catatan melonjak," katanya.
Besarnya potensi nilai ekspor itu bisa digali dari berbagai wilayah. Komoditas ini mulanya mengandalkan Pulau Jawa sebagai pusat produksi, tapi kini tersebar di banyak pulau.
"Dulu produksi terbesar di Jawa sampai 100 ton/tahun. Sekarang 20 ton-30 ton itu sudah banyak, drop 70%, itu pun belum tentu tercapai," kata Boedi.
Produksi di Pulau Jawa kian menurun akibat berkurangnya lahan seperti hutan hingga goa. Padahal, itu merupakan habitat asli dari burung walet. Pergeseran itu sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
"Ada sejarah panjangnya, dulu sarang-sarang burung di gua. Mungkin 150 tahun yang lalu rumah-rumah kosong di daerah Gresik, Worosari, Purwodadi kemasukan burung walet. Kita kembangkan gimana beternak walet secara modern," jelas Boedi.
Kian hari, komoditas ini pun kian berkembang. Bahkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah produksi sarang burung walet terbesar di dunia, jumlahnya sekitar 75%.
"ProduksI dari Pulau Jawa mulai turun, Sumatera pernah di masa emas, sekarang mulai turun. Sekarang larinya ke Kalimantan, Sulawesi kita harap nanti lari ke Irian tapi sampai sekarang belum ada rumah walet," sebut Boedi.
Lalu dengan luas 786.000 km² termasuk Papua Nugini dan bentang hutan yang juga luas, kenapa burung walet belum juga tiba di Papua?
"Dalam Biologi ada namanya walls line seperti jarak antar pulau, Kalimantan dan Sulawesi sangat dekat, terutama Samarinda, Balikpapan ke Poso itu selat yang relatif nggak lebar. Sedangkan Sulawesi ke Irian itu jauh dan jelajah burung ada batasnya, kalau nggak sampai ke sana mungkin butuh waktu lama, ini tetap binatang liar," sebutnya.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini 10 Harta Karun Ekspor RI yang Jadi Primadona Dunia
