
Ada Ketidakadilan Bagi Industri Baja Dalam RPP KEK

Jakarta, CNBC Indonesia - Guru Besar Hukum Internasional UI Rektor Universitas Jenderal A Yani, Hikmahanto Juwana menilai RPP Kawasan Ekonomi Khusus dalam Undang-undang Cipta Kerja tak ubahnya sekadar menyalin gula-gula Free Trade Zone (FTZ) yang selama ini menciptakan ketidakadilan.
"Penerapan regulasi FTZ yang terlihat menjadi semangat RPP Kawasan Ekonomi Khusus bakal menyebabkan investor asing pun kebingungan dalam ketidakpastian regulasi," ujarnya kepada CNBC Indonesia di Jakarta, Jumat (8/1/2021).
Menurutnya, UU Cipta Kerja bertujuan untuk menggairahkan investor baik di dalam maupun di luar negeri. Sayangnya, banyak regulasi yang saling bertentangan di tingkat Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden bagai buah simalakama.
"Pemerintah harus berani mengambil keputusan saat dihadapkan pada mana yang harus didahulukan antara regulasi. Salah satu contoh apakah membangun galangan kapal yang kompetitif dari segi harga di Kawasan Ekonomi Khusus dan Free Trade Zone/Free Port Zone dengan tidak memberlakukan bea masuk anti perdagangan curang (trade remedies) atau membangun industri baja yang tangguh," terangnya.
Terdapat dua rancangan Peraturan Pemerintah yang berpotensi mengundang masalah adalah RPP Kawasan Ekonomi Khusus dan RPP FTZ/FPZ. Dalam kedua RPP tersebut disebutkan tidak diberlakukan pengenaan bea masuk, termasuk bea masuk anti-dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan atau bea masuk pembalasan di KEK dan FTZ/FPZ.
Ketentuan ini, lanjutnya, berpotensi bermasalah mengingat bea masuk anti-dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan atau bea masuk pembalasan merupakan tindakan perlindungan bagi produk yang dihasilkan di dalam negeri (trade remedies) atas tindakan pelaku usaha dari luar negeri yang curang (unfair trade).
"Bila hal ini tidak diberlakukan dalam kawasan KEK dan FTZ/FPZ maka penghukuman bagi pelaku usaha luar negeri tidak akan efektif. Disamping bagi pelaku usaha dalam negeri hal ini menjadi disinsentif," ujarnya.
Dia juga mengatakan, pemerintah akan dipertanyakan komitmennya untuk menjaga dan merawat investor dalam negeri dan investor luar negeri yang telah lama berada di Indonesia. Adapun pengecualian di KEK dan FTZ/FPZ atas berbagai bea yang bertujuan bagi perlindungan produk yang dihasilkan di dalam negeri, bisa memperlemah Indonesia sebagai negara tempat berproduksi (production based). "Ujungnya adalah pembukaan lapangan kerja akan terganggu," tegasnya.
Dia mencontohkan, salah satu investor luar negeri adalah POSCO, perusahaan besi dan baja asal Korea Selatan yang berencana menanamkan sedikitnya Rp 42 triliun melalui kerjasama dengan BUMN PT Krakatau Steel sehingga melahirkan entitas baru PT Krakatau Posco.
Adanya regulasi di KEK dan FTZ/FPZ membuat PT Krakatau Posco mengajukan keberatan atas kebijakan pemerintah mengecualikan bea masuk dalam rangka trade remedies yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 (PP 10/2012).
"Perlu diketahui, baja impor murah yang menjadi bahan baku kapal itu yang membuat produksi kapal di luar KEK dan FTZ/FPZ menjadi susah bersaing. Mudah saja, bagaimana produsen kapal di Surabaya, Jakarta atau wilayah lain bisa bersaing jika bahan bakunya saja sudah lebih mahal dibanding produsen kapal di Batam yang menjadi KEK dan FTZ/FPZ," terangnya.
Terakhir dia menegaskan, sudah sepatutnya Pemerintah bijak dalam membuat berbagai rancangan peraturan pelaksanaan dari UU Ciptaker sehingga tidak mencederai tujuan dari UU Ciptaker karena akan membuat investor berpikir ulang tentang keberlangsungan bisnis mereka.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Baja Lokal Sulit Bersaing Hadapi Perlakuan Khusus FTZ Batam
