Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertanyakan efektivitas dampak dari penyaluran subsidi pupuk terhadap negara. Kepala negara menilai, suntikan subsidi yang diberikan belum berkontribusi besar bagi negara.
Hal tersebut dikemukakan Jokowi saat meresmikan pembukaan rapat kerja nasional pembangunan pertanian tahun 2021 di Istana Negara, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Mulanya, Jokowi membahas persoalan besar yang kerap kali terjadi di sektor pertanian nasional. Namun, tiba-tiba Jokowi teringat dengan penyaluran subsidi pupuk yang telah diberikan negara.
"Saya jadi ingat soal pupuk. Berapa puluh tahun kita subsidi pupuk. Setahun berapa subsidi pupuk? Berapa bu Menteri Keuangan? Rp 30 triliun? Rp 33 triliun seinget saya," kata Jokowi dikutip Selasa (12/1/2021).
Dengan nada yang cukup tinggi, Jokowi lantas mempertanyakan dampak dari penyaluran subsidi pupuk terhadap negara. Kepala negara mengaku heran, puluhan triliun dana yang disalurkan belum memberikan kontribusi signifikkan.
"Return-nya apa? Apakah prouksi melompat naik? Saya tanya kembaliannya [ke negara] apa? Kalau [subsidi sudah disalurkan] 10 tahun, sudah Rp 330 triliun. Itu angka yang besar sekali," kata Jokowi dengan nada tinggi.
Jokowi kemudian menyebut bahwa ada yang salah dari pembangunan pertanian yang selama ini dilakukan. Eks Gubernur DKI Jakarta itu meminta seluruh jajaranynya untuk mengevaluasi.
"Kalau tiap tahun kita keluarkan subsidi pupuk sebesar itu, kemudian tidak ada lompatan di sisi produksinya, ada yang salah. Ada yang gak bener di situ," tegasnya.
Halaman 2>>
Jokowi juga menyoroti jutaan komoditas pangan strategis yang sampai saat ini kerap diimpor dari luar negeri. Pembangunan pertanian nasional, kata dia, perlu dibenahi secara serius.
"Kedelai hati-hati, gula hati-hati, ini yang masih jutaan-jutaan. Jutaan ton. Bawang putih, beras, meskipun ini sudah hampir 2 tahun kita engga impor beras. Saya mau lihat betul di lapangannya apakah bisa bisa konsisten," kata Jokowi.
Jokowi menekankan kepada jajaranya untuk tidak lagi menerapkan kebijakan yang konvensional maupun bersifat rutinitas semata. Jokowi ingin jajarannya bisa membangun kawasan ekonomi secara luas.
"Karena percuma kalau bisa berproduksi tapi sedikit, gak ngaruh apa-apa sama yang impor tadi. Karena problem dari dulu sampai sekarang kenapa kedelai di Indonesia bisa tumbuh baik, petani gak mau tanam? Karena harganya kalah dengan kedelai impor. Kalau petani disuruh jual dengan impor harga pokok, produksi gak nutup," katanya.
"Kenapa dulu kita produksi bawang putih, tapi petani gak mau tanam lagi bawang putih? Karena harganya kalah dengan harga bawang putih impor. Di Wonosobo, di NTB bawang putih banyak kenapa gak diperluas dalam jumlah besar?," jelasnya.
Jokowi meminta jajarannya untuk mencari cara dalam mengatasi hal ini. Pasalnya, pembangunan pertanian yang selama ini dilakukan belum berhasil melepaskan Indonesia dari kebutuhan impor.
"Cari lahan yang cocok untuk kedelai tapi jangan 1-2 hektar, 10 hektar, 100 ribu, 300 ribu, 500 ribu. Satu juta hektar cari,"katanya.
Halaman 3>>
Selama 2015-2019, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan rata-rata produksi padi per tahun adalah 69,94 juta ton. Laju pertumbuhan per tahunnya adalah -4,18%.
Pantas bila Jokowi gusar. Apalagi subsidi pupuk bertambah tetapi produksi malah turun.
Kemudian kedelai. Mengutip data ASEAN Food Security Information System (AFSIS), rata-rata produksi kedelai Indonesia pada 2015-2019 adalah 747.860 ton. Turun dibandingkan rerata lima tahun sebelumnya yaitu 867.260 ton.
Sepanjang 2015-2019, rata-rata pertumbuhan produksi kedelai nasional adalah -5,15% per tahun. Lagi-lagi turun. Padahal lima tahun sebelumnya produksi naik rata-rata 0,18% per tahun.
Lalu jagung. Data AFSIS menyebutkan rerata produksi jagung nasional selama 2015-2019 adalah 25,13 juta ton per tahun. Rerata pertumbuhan produksi ada di 5,88% setiap tahunnya.
Angka-angka ini membaik dibandingkan lima tahun sebelumnya. Pada 2010-2014, rata-rata produksi jagung Tanah Air adalah 18,57 juta ton per tahun. Sementara rerata pertumbuhan produksi adalah 1,66% per tahun.
Dari tiga komoditas pangan utama itu, dua mencatatkan pencapaian yang lebih buruk dan hanya satu yang membaik. Tentu Jokowi tidak akan senang dengan ini, dan sangat wajar jika menuntut ada perbaikan.