
Buka-bukaan Sri Mulyani Soal APBN 2020 Hingga Dampak Covid-19

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggelar keterangan pers terkait kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, Rabu (6/1/2021).
Secara umum, APBN 2020 mengalami defisit Rp 956,3 triliun atau setara dengan 6,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Defisit dari APBN mencapai Rp 956,3 triliun lebih kecil dari Perpres 72 yang tadinya defisit Rp 1.039,2 triliun," ujar Sri Mulyani saat melakukan konferensi pers virtual, Rabu (6/1/2021).
Defisit anggaran terjadi lantaran penerimaan negara yang jauh lebih rendah dari belanja negara. Di mana penerimaan negara pada 2020 sebesar Rp 1.633 triliun dan belanja negara mencapai Rp 2.589 triliun.
Apabila diperinci, pendapatan negara tercatat mengalami pertumbuhan minus 16,7% dibandingkan periode tahun sebelumnya. Namun realisasi pendapatan negara ini mencapai 96,1% dari target yang ditetapkan yaitu sebesar Rp1.699,9 triliun.
Sementara untuk belanja negara, tercatat justru mengalami pertumbuhan 12,2% dibandingkan periode tahun sebelumnya. Realisasi belanja negara mencapai 94,6% dari target yang ditetapkan yaitu sebesar Rp2.739,2 triliun.
Bendahara negara itu pun menjelaskan, nilai defisit tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan dengan undang-undang APBN 2020 awal di mana desain defisit APBN hanya sebesar 1,76% dari PDB atau mencapai Rp 307,2 triliun.
"Jadi terlihat tadinya APBN didesain menjadi APBN yang sehat untuk mendukung ekonomi, namun mengalami konsolidasi (akibat pandemi)," jelas Sri Mulyani.
Setoran Pajak Kurang Rp 128,8 Triliun
Penerimaan pajak pada 2020 anjlok cukup dalam. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang membuat ekonomi mati suri membuat setoran pajak ambles.
"Penerimaan pajak 2020 adalah yang paling terpukul oleh dampak pandemi Covid-19 yang mempengaruhi penurunan ekonomi," kata Sri Mulyani.
Total penerimaan pajak 2020 tercatat Rp 1.070 triliun. Angka ini adalah 89,3% dari target yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 72/2020 sebesar Rp 1.198,8 triliun. Dibandingkan dengan realisasi 2019, ada penurunan 19,7%.
Pos yang ambles paling dalam adalah Pajak Penghasilan (PPh) Migas. Realisasi PPh Migas sepanjang 2020 adalah Rp 33,2 triliun. Meski 4,1% di atas target Perpres No 72/2020, tetapi 43,9% di bawah pencapaian 2019.
"Terjadi penurunan harga komoditas, harga minyak masih di bawah harga 2019," kata Sri Mulyani yang juga eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Sementara realisasi setoran pajak non-migas adalah Rp 1.036,8 triliun. Angka ini adalah 88,8 triliun dari target Perpres No 72/2020 dan 18,6% di bawah realisasi 2019.
"Ada dua hal. Wajib Pajak turun karena penurunan ekonomi dan pemerintah memberikan insentif secara luas. Apakah itu dalam bentuk PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), pengurangan PPh pasal 25, restitusi PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang dipercepat, dan PPh final UMKM DTP," tegas Sri Mulyani.