Harga Kedelai Selangit Bikin Produsen Tahu-Tempe Menjerit

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
03 January 2021 13:10
Kedelai Impor
Foto: Pengerajin memilih kedelai untuk diolah menjadi tempe di kawasan Sunter, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga kedelai global mengalami kenaikan pada 2020. Kenaikan harga yang fantastis juga dirasakan oleh masyarakat Tanah Air, terutama bagi mereka yang merupakan produsen tempe maupun tahu.

Harga kontrak futures (berjangka) kedelai di Bursa Komoditas Dalian meroket tajam tahun lalu. Tak tanggung-tanggung, harga kedelai melesat 65%. Kenaikan harga kedelai juga mengakibatkan harga produk turunannya seperti minyak kedelai juga ikut terkerek naik. 

Dalam laporan terbarunya, FAO mencatat harga minyak kedelai mengalami lonjakan lantaran ketersediaan ekspor di Amerika Selatan yang minim dibarengi dengan peningkatan permintaan, terutama dari India. 

Selain India, China juga merupakan negara yang banyak mengimpor kedelai. Menurut Ketua Umum Gabungan Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia Aip Syarifuddin, China mengimpor hampir semua jenis kedelai, baik yang kualitasnya bagus maupun buruk. 

Di Negeri Tirai Bambu, penggunaan kedelai pun beragam. Ada yang dikonsumsi untuk pakan ternak, terutama babi, susu hingga untuk minyak nabati. Menjelang tahun baru Imlek pada Februari biasanya permintaan terhadap daging babi meningkat. 

Geliat sektor peternakan babi membuat permintaan terhadap pakannya mengalami kenaikan. Sebagai salah satu importir terbesar di dunia, wajar saja jika permintaan yang tinggi di China turut mengerek harga kedelai. 

"Permintaan China yang tadinya 75 juta ton, naik jadi 92 juta ton sekarang, permintaan naik katanya ya untuk Imlek Februari. Kemudian bikin cadangan lagi 25 juta ton, katanya agar babi gemuk untuk pesta imlek, sehingga permintaan dari China luar biasa," kata Aip kepada CNBC Indonesia. 

Kenaikan harga kedelai global juga turut dirasakan di Tanah Air. Harga kedelai bahkan sudah mencapai Rp 10.000 per kg. Hal ini membuat para produsen tempe dan tahu menjerit dan memutuskan untuk mogok produksi.

"Kita mogok penjualan tanggal 1,2 dan 3 ini, sementara mogok produksi 30,31 dan 1 Januari kemarin. Karena tempe ada prosesnya seperti fermentasi dan lain, yang dijual hari ini, bisa produksi dari hari Kamisnya bahkan Rabunya," kata Ketua Sahabat Pengrajin Tempe Pekalongan Indonesia (SPTP I ) Jakarta Barat, Mu'alimin kepada CNBC Indonesia, Sabtu (02/01/2021).

Mengacu pada laporan Bappenas, Sebagian besar kedelai oleh masyarakat Indonesia dikonsumsi dalam bentuk produk olahan, seperti tahu, tempe, tauco, oncom, kecap, dan susu kedelai.

Luas lahan panen kedelai pada periode 2015-2019 terus mengalami fluktuasi. Begitu juga dengan produksinya. Mirisnya sampai dengan Oktober tahun 2019, produksi kedelai baru 480 ribu ton saja, atau hanya 16% dari target yang dipatok di awal 2,8 juta ton.

Padahal setiap tahunnya Indonesia diperkirakan mengkonsumsi 2,8 juta ton kedelai. Akibatnya, kekurangan pasokan kedelai tersebut harus ditambal dengan mengimpor sebanyak 2,3-2,7 juta ton dalam lima tahun terakhir.

Lebih dari 90% kedelai yang diimpor RI berasal dari Amerika Serikat. Ketergantungan akan impor inilah yang membuat harga kedelai di dalam negeri rentan mengalami fluktuasi dan sangat sensitif terhadap dinamika supply dan demand global.

Menurut Aip, ketika pasokan tidak mampu mengakomodasi seluruh permintaan, AS sebagai produsen global akan cenderung memprioritaskan China karena ukuran pasar yang besar dan karakteristik China yang mengimpor berbagai jenis kedelai.

Selain masalah ketergantungan pada impor, Indonesia juga memiliki problem lain yaitu disparitas harga kedelai antara produsen dan konsumen. Menurut Bappenas, rata-rata pertumbuhan harga produsen dan konsumen pada periode 1983-2015 berturut-turut adalah 10,59% dan 13,61% per tahun.

Jika dilihat dari disparitas atau margin harga yang terjadi antara harga produsen dan konsumen, terlihat periode setelah krisis ekonomi global selalu memberikan dampak terjadinya lonjakan margin harga kedelai.

Krisis ekonomi pertama tahun 1997-1998 terjadi peningkatan sebesar 498,05% dan krisis yang kedua tahun 2008 lebih tinggi yaitu sebesar 508,54%. Margin harga tertinggi terjadi pada 2015 sebesar Rp 4.437 per kilogram.

Kala itu, harga kedelai tingkat produsen sebesar Rp 8.327 per kg, sedangkan harga tingkat konsumen mencapai Rp 12.764 per kilogram. Disparitas yang tinggi antara produsen dengan konsumen perlu menjadi perhatian khusus oleh pemerintah. 

Untuk mencapai ke tangan konsumen akhir, kedelai harus diangkut dari produsen ke distributor terlebih dahulu, atau bahkan ke pedagang. Semakin banyak cabang distribusinya, maka margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) juga akan semakin tinggi.

Inilah yang menyebabkan adanya gap besar harga antara produsen dan konsumen. Pola distribusi yang terlalu bercabang dan tidak efisien menunjukkan bahwa tata kelola niaga masih belum optimal. Hal ini jelas menjadi salah satu pekerjaan besar bagi Kementerian Perdagangan. 

Tidak hanya kedelai saja yang harganya melesat tinggi. Banyak komoditas-komoditas lain yang sering mengalami kenaikan yang tinggi. Contohnya adalah cabai merah dan bawang merah. Keduanya memiliki MPP yang sangat tinggi bahkan lebih dari 25%. 

Untuk mengatasi permasalahan kronis berupa lonjakan harga komoditas yang merugikan konsumen, pendekatannya tidak hanya melalui tata kelola rantai pasoknya saja tetapi juga harus dibarengi dengan peningkatan produksi dan produktivitas di sektor hulu yang menjadi ranah Kementerian Pertanian. 

Perlu ada koordinasi dan sinergi yang lebih kuat di antara kedua lembaga tersebut untuk mewujudkan stabilitas harga pangan. Tidak hanya stabilitas harga saja yang diprioritaskan tetapi juga aspek security dan kemandirian pangan perlu terus diupayakan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Kedelai Dunia Naik Lagi, Pasokan Disebut Masih Aman

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular