
Bye 2020, Masa Terpuruknya Sektor Energi dan Tambang

4. Proyek-proyek Smelter Tertunda
Gara-gara Covid-19 beberapa proyek fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral logam (smelter) menjadi tertunda. PT Freeport Indonesia mengajukan penundaan pembangunan smelter selama setahun. Direktur Utama Holding Pertambangan (MIND ID) Orias Petrus Moedak mengatakan permasalahan yang dialami PT Freeport itu sederhana. Saat ini sedang dalam tahap membangun, namun terkendala pandemi Covid-19.
"(Freeport) mengajukan ada penundaan, ini sesuatu yang berlaku umum dan kemungkinan akan ada kebijakan umum. Susah ke lapangan karena zona merah, sehingga perlu ada kebijakan. Karena ada surat, maka akan dibahas," ungkapnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (15/05/2020).
Lebih lanjut ia mengatakan, untuk membangun smelter sudah ada pinjaman dari beberapa bank dengan nilai US$ 2,8 miliar dan sudah memasuki tahap akhir. Namun karena adanya Covid-19 ini, maka dilakukan penjadwalan kembali sesuai dengan jadwal di mana smelter akan selesai dibangun.
"Jadi sementara ini kan masih zona merah, jadi kalau dia mulai membangun, pendanaan akan dieksekusi oleh Freeport," paparnya.
Direktur Utama PT Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan hambatan yang dialami yakni mulai dari proses fabrikasi peralatan sampai untuk bekerja di lokasi smelter di Gresik yang kini terdapat Pembatasan Sosial Berskala Besar.
"Ini membuat proses progres dari pembangunan smelter terhambat dan kontraktor sampaikan akan ada keterlambatan. Atas dasar hal tersebut kita sudah ajukan permohonan tunda pembangunan smelter selama satu tahun ke depan," paparnya.
Sesuai dengan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) yang diteken, smelter ini semestinya bisa rampung pada 2023 mendatang atau lima tahun sejak penandatanganan izin. Dengan penundaan ini, ia memproyeksi smelter baru selesai dibangun pada 2024 nanti.
Tak hanya proyek smelter katoda tembaga yang dibangun PT Freeport Indonesia, puluhan smelter mineral lainnya juga disebutkan tertunda dan terhenti proses pembangunannya akibat pandemi Covid-19 ini. Pemerintah menargetkan sebanyak 48 smelter baru beroperasi pada 2024.
Hal itu diungkapkan Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif dalam sebuah diskusi tentang pertambangan, kemarin, Selasa (10/11/2020).
Dia menyebut tertundanya pembangunan smelter ini karena suplai bahan baku dan tenaga kerja terhenti. Pasalnya, sejumlah negara pemasok teknologi smelter juga melakukan penguncian wilayah (lockdown) yang membatasi mobilitas karyawan.
"Progress pembangunan 48 smelter di 2024 sedang banyak yang berhenti karena suplai bahan baku dan tenaga kerja juga berhenti karena negara yang punya teknologi ini sedang lockdown," ungkapnya dalam sebuah diskusi bertema 'Prospek Sektor Tambang di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global' secara virtual, kemarin, Selasa (10/11/2020).
Meski kini pembatasan sosial sudah tidak seketat saat awal pandemi dan masyarakat mulai beraktivitas kembali dengan normal baru, namun proses pembangunan smelter ini belum menunjukkan kemajuan signifikan.
Dia menyebutkan, dari target beroperasinya 48 smelter pada 2024 mendatang, mayoritas proyek tersebut merupakan smelter nikel yakni mencapai 30 smelter.
Dari 30 smelter nikel yang tengah dibangun, 13 smelter progress-nya lebih dari 90%, lalu sembilan smelter capaiannya 30%-90%, dan delapan smelter kemajuannya kurang dari 30%.
Selain nikel, ada delapan smelter bauksit, di mana dua smelter capaiannya lebih dari 90%, dua smelter 30%-90%, dan empat smelter kurang dari 30%. Lalu, ada empat smelter tembaga yang tengah dibangun, di mana dua smelter progress-nya lebih dari 90% dan dua lagi kurang dari 30%.
Terakhir, smelter besi, mangan, timbal dan seng, dari enam smelter yang tengah dibangun, ada tiga smelter yang capaiannya lebih dari 90% dan tiga lainnya antara 30%-90%.
5. Kejelasan Status SKK Migas Batal di Omnibus Law
Pemerintah dengan DPR RI telah mencabut klausul tentang pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus Minyak dan Gas Bumi dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Padahal, pembentukan BUMN Khusus Migas ini awalnya ditujukan untuk menggantikan regulator hulu migas yang ada saat ini yaitu Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Setelah dihapus di Omnibus Law, pembentukan BUMN Khusus Migas bakal dibahas di dalam Revisi Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Namun sayangnya RUU Migas sampai saat ini belum dibahas oleh DPR RI, bahkan pembahasannya disalip oleh RUU Energi Baru Terbarukan (EBT).
Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman mengatakan SKK Migas saat ini kondisinya "terombang ambing di tengah badai" karena belum adanya kepastian undang-undang yang mengatur kelembagaan SKK Migas. Namun demikian, pihaknya tetap menjalankan tugas sebaik mungkin guna kelancaran kegiatan hulu migas nasional.
"Setelah dibubarkannya BP Migas, maka kami SKK Migas yang tidak punya UU tetap menjalankan amanah negara, ya terombang-ambing, tapi insya Allah kita jalan terus di tengah badai ini," ungkapnya dalam Webinar Seri-3 Bimasena Energy Dialogue, Jumat (13/11/2020).
Dia mengatakan, mulanya pihaknya berharap kepastian hukum tentang kelembagaan institusi hulu migas ini diatur di dalam UU tentang Cipta Kerja. Namun nyatanya, kejelasan mengenai institusi hulu migas ini tidak jadi dimasukkan di dalam UU Cipta Kerja, tapi malah akan diatur di dalam Revisi UU Migas.
Pihaknya berharap agar UU Migas ini segera direvisi karena saat ini payung hukum kelembagaan SKK Migas hanya bernaung di bawah Peraturan Presiden.
"Kami sangat berharap ini bisa cepat selesai supaya apa yang kami kerjakan ada dasar hukumnya. Walau sekarang sudah ada dasar hukumnya, tapi level dasar hukumnya masih Peraturan Presiden," tuturnya.
Menurutnya, kepastian hukum terhadap institusi SKK Migas ini juga penting karena terkait iklim investasi dan keyakinan bagi calon investor maupun investor hulu migas yang telah ada.
"Kami harapkan akan diberikan kepastian hukum ke depan. Kalau tidak ada kepastian hukum, kita juga akan sulit," ujarnya.
Dia mengatakan, di dalam UU Migas tahun 2001, tidak hanya mengatur kegiatan hulu migas, tapi juga hilir. Oleh karena itu, bila institusi SKK Migas ini diubah, menurutnya harus jelas bentuknya seperti apa. "Ini yang menjadi pertanyaan, bagaimana bentuknya."
Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto berjanji akan mulai membahasnya lagi pada pertengahan tahun depan. Sugeng mengatakan, mekanisme yang digunakan dalam menyusun revisi UU Migas ini akan sama dengan Rancangan UU (RUU) EBT. Dalam penyusunannya nanti, lanjutnya, DPR akan melibatkan semua pihak.
"Pembahasan revisi UU Migas akan kita mulai pertengahan tahun depan secara simultan setelah RUU EBT. Nanti pertengahan 2021, sudah masuk ke pembahasan revisi UU Migas dan mekanisme yang sama akan kita jalankan," ungkapnya dalam 'Webinar Seri-3 Bimasena Energy Dialogue', Jumat (13/11/2020).
(wia)