Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2020 menjadi tahun yang berat bagi semua sektor, tak terkecuali sektor energi. Pandemi Covid-19 membuat sektor energi mengalami banyak tekanan, mulai dari harga minyak yang anjlok, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) turun drastis bahkan terendah sepanjang masa, konsumsi listrik juga jeblok, dan sederet isu lainnya.
Harapan kita tentu sama, agar pandemi Covid-19 cepat berlalu, sehingga kondisi segera pulih. Berikut rangkuman beberapa isu buruk di sektor energi dan tambang pada 2020 akibat adanya pandemi:
1. Anjloknya Harga Minyak
Sudah satu tahun lalu sejak pasien corona pertama di Wuhan, China terinfeksi virus Covid-19, tepatnya pada 1 Desember 2019. Kemudian virus menyebar ke seluruh dunia dan berdampak ke berbagai sektor, termasuk energi.
Banyak negara yang melakukan pembatasan demi menekan penyebaran virus. Akibat pembatasan ini, konsumsi energi seperti bahan bakar minyak (BBM) tertekan, sehingga berdampak pada harga minyak mentah dunia yang anjlok gara-gara kelebihan pasokan.
Harga minyak mentah sempat menyentuh harga di bawah US$ 40 per barel. Misalnya pada Minggu (5/4/2020) harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat (AS) anjlok 9,2% menjadi US$ 25,72 per barel, sementara harga patokan internasional, minyak mentah Brent turun 8,7% menjadi US$ 31,15 per barel. Bahkan, untuk pertama kalinya dalam sejarah harga kontrak WTI yang aktif diperdagangkan jatuh ke teritori negatif.
Mengantisipasi anjloknya harga minyak, sekutu penghasil minyaknya OPEC+, berhasil merampungkan perjanjian soal pemangkasan produksi minyak. Dampaknya, harga minyak melonjak lebih dari 3% setelah produsen emas hitam dunia mengurangi produksi. Negara-negara ini sepakat memangkas produksi sebesar 9,7 juta barel per hari (bph) yang merupakan terbesar sepanjang sejarah.
Benchmark AS West Texas Intermediate naik 3,4% ke US$ 23,55 per barel. Sementara Brent, yang jadi patokan internasional, naik 3,1% menjadi 32,46 per barel.
Pada September harga minyak masih di bawah US$ 40 per barel. Brent sebagai acuan internasional turun tajam dengan koreksi 5,3% dari posisi perdagangan sehari sebelumnya. Di saat yang sama harga minyak acuan AS yaitu West Texas Intermediate (WTI) juga terjun bebas dengan anjlok 7,6%.
Pada Rabu (9/9/2020), pukul 08.00 WIB harga minyak Brent turun 0,15% ke US$ 39,72 per barel dan WTI terpangkas 0,27% ke US$ 36,66 per barel.
Namun, harga minyak akhirnya berangsur-angsur naik sampai menyentuh angka di atas US$ 40 per barel. Harga Brent sebelumnya US$ 52,02 menjadi US$ 51,97. Sementara itu West Texas Intermediate atau WTI bertambah 1,4% menjadi US$ 48,92.
Analis OANDA, Jeffrey Halley menyatakan jika penandatanganan aturan oleh Trump kemungkinan bisa menjadi ukuran peningkatan. "Akan menempatkan di bawah harga minyak dalam minggu yang singkat," ungkapnya, dikutip Reuters, Senin (28/12/2020).
2. Konsumsi BBM Jeblok, Pertamina Sebut Terendah Sepanjang Masa
Pemerintah menerapkan banyak pembatasan dan pergerakan massa demi menekan penyebaran Covid-19. Akibatnya, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) ikut anjlok.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan sejak imbauan berkegiatan dari rumah, seperti work from home atau bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, hingga ibadah di rumah digaungkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada Maret lalu, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) masyarakat turun sangat signifikan.
Di sebagian daerah, penurunan konsumsi BBM untuk produk bensin Premium dan Perta series mencapai 16,78% per hari dibanding Januari dan Februari 2020.
"Dengan berlakunya PSBB di DKI Jakarta, ini semakin tertekan," kata Nicke saat rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Kamis (16/4/2020).
Untuk Jakarta, lanjut Nicke, penurunan konsumsi BBM lebih anjlok lagi, yakni mencapai 59% dibandingkan kota-kota lain.
"Situasi yang belum pernah terjadi, ini sales terendah sepanjang sejarah Pertamina," jelasnya.
Hal ini tentu saja berdampak besar pada operasional kilang dan keuangan perusahaan.
Penjualan juga turun untuk produk gas oil atau Solar. Berdasarkan data Pertamina, konsumsi rata-rata Solar turun 8,38% dibanding Januari dan Februari 2020.
Di tengah konsumsi yang anjlok ini, Pertamina berupaya mendorong penjualan dengan memberikan insentif pada pelanggan. Perseroan mendorong upaya pengantaran langsung ke konsumen dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada seperti ojek online.
"Makanya, kami kasih cashback ke ojek online," kata Nicke saat menggelar konferensi pers virtual, Kamis (30/4/2020).
Kondisi Pertamina makin menjadi-jadi dengan melemahnya rupiah, "Sebab spending kita 93% baik Opex maupun Capex adalah dolar, padahal kita jual produk pakai rupiah," tuturnya.
Akibatnya, terdapat selisih kurs dan membuat pengeluaran dan pemasukan Pertamina tak imbang-imbang.
3. Penjualan Listrik PLN Jeblok
Berkurangnya kegiatan industri, dibatasinya kegiatan perniagaan, dan aktivitas perkantoran akibat pandemi Covid-19 membuat penjualan listrik PT PLN (Persero) juga jeblok pada tahun ini. Bahkan PLN sampai merevisi rencana kerja tahun ini.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini mengatakan dampak dari pandemi Covid-19 membuat permintaan di sistem Jawa dan Bali turun sekitar 11%. Kemudian konsumsi listrik di pelanggan bisnis turun 15% dan industri turun 11%.
Meski ada kenaikan konsumsi listrik pada pelanggan rumah tangga, namun tidak bisa menutup daripada penurunan konsumsi dari pelanggan bisnis dan industri. Sehingga perlu adanya penyesuaian rencana kerja Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020.
"Ini dalam proses untuk kami sampaikan pada pemegang saham, untuk membuat RKAP baru revisi RKAP 2020," ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Rabu, (3/06/2020).
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan penjualan listrik pada semester I 2020 turun sebesar 6,33%.
Dari sisi wilayah, konsumsi listrik masyarakat yang anjlok cukup tajam yaitu terjadi di Bali mencapai minus 32,87%, lalu Banten minus 12,82%, Jawa Barat minus 10,57%, Jawa Tengah 6,28%, Sumatera Barat minus 7,12%, Sulawesi Selatan dan Tenggara minus 7,68%, dan DKI Jakarta minus 5,62%.
Dia mengatakan, sebagai upaya membantu masyarakat di tengah pandemi Covid-19, Kementerian ESDM melalui Ditjen Ketenagalistrikan telah menugaskan PT PLN (Persero) untuk memberikan diskon tarif bagi pelanggan rumah tangga (RT), bisnis, dan industri. Diskon ini menjadi bagian dari stimulus ekonomi yang diberikan.
"Bantuan ini bersifat sementara," ungkapnya dalam sebuah diskusi daring pada Rabu (23/09/2020).
Keringanan tarif listrik diberikan pemerintah itu antara lain untuk pelanggan rumah tangga (R1) berdaya 450 VA gratis dari April-Desember 2020 untuk 24,16 juta pelanggan, kemudian diskon 50% untuk pelanggan rumah tangga berdaya 900 VA April-Desember 7,72 juta pelanggan, pelanggan listrik golongan bisnis kecil (B1) berdaya 450 VA 500,1 ribu pelanggan dan industri kecil (I1) 450 VA dengan total 433 pelanggan diberikan diskon 100% dari Mei-Desember 2020.
Meski sempat sempat turun tajam, PLN mencatat penjualan listrik tahun 2020 berdasarkan data terakhir mengalami koreksi minus 0,2% year on year (yoy). Capaian ini dia sebut lebih baik dari proyeksi awal penjualan minus 0,6%.
PLN optimis seiring dengan pulihnya perekonomian, penjualan listrik akan tumbuh positif di tahun 2021 mendatang. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril mengatakan PLN punya dua skenario untuk tahun depan.
Skenario pertama adalah optimis dengan proyeksi penjualan listrik akan tumbuh 4%. Lalu skenario kedua adalah pesimis dengan proyeksi penjualan listrik hanya 1,6%.
"Dengan kondisi pertumbuhan, kita dalam skenario optimisnya tumbuh 4%, dan 1,6% skenario pesimis terhadap proyeksi realisasi tahun 2020," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa, (29/12/2020).
4. Proyek-proyek Smelter Tertunda
Gara-gara Covid-19 beberapa proyek fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral logam (smelter) menjadi tertunda. PT Freeport Indonesia mengajukan penundaan pembangunan smelter selama setahun. Direktur Utama Holding Pertambangan (MIND ID) Orias Petrus Moedak mengatakan permasalahan yang dialami PT Freeport itu sederhana. Saat ini sedang dalam tahap membangun, namun terkendala pandemi Covid-19.
"(Freeport) mengajukan ada penundaan, ini sesuatu yang berlaku umum dan kemungkinan akan ada kebijakan umum. Susah ke lapangan karena zona merah, sehingga perlu ada kebijakan. Karena ada surat, maka akan dibahas," ungkapnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (15/05/2020).
Lebih lanjut ia mengatakan, untuk membangun smelter sudah ada pinjaman dari beberapa bank dengan nilai US$ 2,8 miliar dan sudah memasuki tahap akhir. Namun karena adanya Covid-19 ini, maka dilakukan penjadwalan kembali sesuai dengan jadwal di mana smelter akan selesai dibangun.
"Jadi sementara ini kan masih zona merah, jadi kalau dia mulai membangun, pendanaan akan dieksekusi oleh Freeport," paparnya.
Direktur Utama PT Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan hambatan yang dialami yakni mulai dari proses fabrikasi peralatan sampai untuk bekerja di lokasi smelter di Gresik yang kini terdapat Pembatasan Sosial Berskala Besar.
"Ini membuat proses progres dari pembangunan smelter terhambat dan kontraktor sampaikan akan ada keterlambatan. Atas dasar hal tersebut kita sudah ajukan permohonan tunda pembangunan smelter selama satu tahun ke depan," paparnya.
Sesuai dengan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) yang diteken, smelter ini semestinya bisa rampung pada 2023 mendatang atau lima tahun sejak penandatanganan izin. Dengan penundaan ini, ia memproyeksi smelter baru selesai dibangun pada 2024 nanti.
Tak hanya proyek smelter katoda tembaga yang dibangun PT Freeport Indonesia, puluhan smelter mineral lainnya juga disebutkan tertunda dan terhenti proses pembangunannya akibat pandemi Covid-19 ini. Pemerintah menargetkan sebanyak 48 smelter baru beroperasi pada 2024.
Hal itu diungkapkan Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif dalam sebuah diskusi tentang pertambangan, kemarin, Selasa (10/11/2020).
Dia menyebut tertundanya pembangunan smelter ini karena suplai bahan baku dan tenaga kerja terhenti. Pasalnya, sejumlah negara pemasok teknologi smelter juga melakukan penguncian wilayah (lockdown) yang membatasi mobilitas karyawan.
"Progress pembangunan 48 smelter di 2024 sedang banyak yang berhenti karena suplai bahan baku dan tenaga kerja juga berhenti karena negara yang punya teknologi ini sedang lockdown," ungkapnya dalam sebuah diskusi bertema 'Prospek Sektor Tambang di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global' secara virtual, kemarin, Selasa (10/11/2020).
Meski kini pembatasan sosial sudah tidak seketat saat awal pandemi dan masyarakat mulai beraktivitas kembali dengan normal baru, namun proses pembangunan smelter ini belum menunjukkan kemajuan signifikan.
Dia menyebutkan, dari target beroperasinya 48 smelter pada 2024 mendatang, mayoritas proyek tersebut merupakan smelter nikel yakni mencapai 30 smelter.
Dari 30 smelter nikel yang tengah dibangun, 13 smelter progress-nya lebih dari 90%, lalu sembilan smelter capaiannya 30%-90%, dan delapan smelter kemajuannya kurang dari 30%.
Selain nikel, ada delapan smelter bauksit, di mana dua smelter capaiannya lebih dari 90%, dua smelter 30%-90%, dan empat smelter kurang dari 30%. Lalu, ada empat smelter tembaga yang tengah dibangun, di mana dua smelter progress-nya lebih dari 90% dan dua lagi kurang dari 30%.
Terakhir, smelter besi, mangan, timbal dan seng, dari enam smelter yang tengah dibangun, ada tiga smelter yang capaiannya lebih dari 90% dan tiga lainnya antara 30%-90%.
5. Kejelasan Status SKK Migas Batal di Omnibus Law
Pemerintah dengan DPR RI telah mencabut klausul tentang pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus Minyak dan Gas Bumi dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Padahal, pembentukan BUMN Khusus Migas ini awalnya ditujukan untuk menggantikan regulator hulu migas yang ada saat ini yaitu Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Setelah dihapus di Omnibus Law, pembentukan BUMN Khusus Migas bakal dibahas di dalam Revisi Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Namun sayangnya RUU Migas sampai saat ini belum dibahas oleh DPR RI, bahkan pembahasannya disalip oleh RUU Energi Baru Terbarukan (EBT).
Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman mengatakan SKK Migas saat ini kondisinya "terombang ambing di tengah badai" karena belum adanya kepastian undang-undang yang mengatur kelembagaan SKK Migas. Namun demikian, pihaknya tetap menjalankan tugas sebaik mungkin guna kelancaran kegiatan hulu migas nasional.
"Setelah dibubarkannya BP Migas, maka kami SKK Migas yang tidak punya UU tetap menjalankan amanah negara, ya terombang-ambing, tapi insya Allah kita jalan terus di tengah badai ini," ungkapnya dalam Webinar Seri-3 Bimasena Energy Dialogue, Jumat (13/11/2020).
Dia mengatakan, mulanya pihaknya berharap kepastian hukum tentang kelembagaan institusi hulu migas ini diatur di dalam UU tentang Cipta Kerja. Namun nyatanya, kejelasan mengenai institusi hulu migas ini tidak jadi dimasukkan di dalam UU Cipta Kerja, tapi malah akan diatur di dalam Revisi UU Migas.
Pihaknya berharap agar UU Migas ini segera direvisi karena saat ini payung hukum kelembagaan SKK Migas hanya bernaung di bawah Peraturan Presiden.
"Kami sangat berharap ini bisa cepat selesai supaya apa yang kami kerjakan ada dasar hukumnya. Walau sekarang sudah ada dasar hukumnya, tapi level dasar hukumnya masih Peraturan Presiden," tuturnya.
Menurutnya, kepastian hukum terhadap institusi SKK Migas ini juga penting karena terkait iklim investasi dan keyakinan bagi calon investor maupun investor hulu migas yang telah ada.
"Kami harapkan akan diberikan kepastian hukum ke depan. Kalau tidak ada kepastian hukum, kita juga akan sulit," ujarnya.
Dia mengatakan, di dalam UU Migas tahun 2001, tidak hanya mengatur kegiatan hulu migas, tapi juga hilir. Oleh karena itu, bila institusi SKK Migas ini diubah, menurutnya harus jelas bentuknya seperti apa. "Ini yang menjadi pertanyaan, bagaimana bentuknya."
Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto berjanji akan mulai membahasnya lagi pada pertengahan tahun depan. Sugeng mengatakan, mekanisme yang digunakan dalam menyusun revisi UU Migas ini akan sama dengan Rancangan UU (RUU) EBT. Dalam penyusunannya nanti, lanjutnya, DPR akan melibatkan semua pihak.
"Pembahasan revisi UU Migas akan kita mulai pertengahan tahun depan secara simultan setelah RUU EBT. Nanti pertengahan 2021, sudah masuk ke pembahasan revisi UU Migas dan mekanisme yang sama akan kita jalankan," ungkapnya dalam 'Webinar Seri-3 Bimasena Energy Dialogue', Jumat (13/11/2020).
6. Aramco Cabut Dari Proyek Kilang Pertamina di Cilacap
Sejak April 2020 PT Pertamina (Persero) sudah putus kerja sama dengan Saudi Aramco untuk proyek pengembangan Kilang Cilacap. Batalnya kerja sama ini menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati karena masalah perbedaan valuasi. Meski tidak jadi dengan Aramco, namun sudah ada beberapa calon mitra yang melakukan pendekatan.
"RDMP Cilacap sudah putus, karena memang perbedaan valuasi jauh US$ 1,1 billion terhadap nilai buku, kami sudah selesai. Ada beberapa partner yang hari ini sudah approach," ungkap Nicke saat rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR RI, Rabu, (01/07/2020).
Nicke mengatakan kerja sama dengan Aramco ini berbahaya jika dilanjutkan lantaran menurunkan nilai aset dari Pertamina karena kerja sama ini menggunakan nilai valuasi yang lebih rendah ketimbang dengan valuasi aset saat ini.
"Jadi permasalahannya dari perbedaan valuasi. Bagaimana valuasi menilai dari eksisting kilang Cilacap ini ada perbedaan harga US$ 1,1 miliar. Itu kalau dibandingkan dengan nilai buku, itu kan aset BUMN," kata Nicke.
"Jadi itu tidak mungkin kita bisa lepas karena di bawah nilai buku yang angkanya sebesar itu tentu akan bahaya. Oleh karena itu kita sepakat untuk tidak sepakat. Jadi kita putus pisah baik-baik di akhir April," lanjutnya.
Meski batal dengan Aramco, Nicke menegaskan jika pihaknya akan terus melanjutkan untuk konversi dari EURO 2 Ke EURO 5. Setelah ada beberapa partner yang melakukan pendekatan, Pertamina akan melakukan seleksi.
"Kami akan lakukan partner selection tapi program akan kami lakukan convertion karena mandatory. Kalau nunggu-nunggu kami ditegur. Di sana nggak ramah lingkungan," jelasnya.
Pengembangan Kilang Cilacap digadang-gadang akan meningkatkan kapasitas Kilang Cilacap dari 348 ke 400 ribu barel per hari. Rencana investasi dengan Saudi Aramco pun dijajaki sejak 2014 dengan drama yang berputar-putar, mulai dari masalah insentif sampai harga valuasi yang tak cocok.
Soal valuasi ini, sempat memanas sejak tahun lalu sebab Aramco diketahui menawar separuh dari valuasi yang disepakati sebelumnya. Investasi ditawar setengah harga, tentu tidak mudah buat Pertamina. Keduanya pun menunjuk konsultan independen dan terus beradu soal nilai valuasi ini. Terakhir nilai ini dikaji sampai April lalu.
Sementara itu, Praktisi Migas dari Bimasena Energy Team yang juga Eks Bos Pertamina Ari Soemarno sangat menyayangkan cabutnya Aramco dari proyek kilang di Cilacap.
Pasalnya Aramco adalah partner yang sangat strategis dan berpengalaman. Ia mencontohkan beberapa negara lain bisa sukses melakukan lobi-lobi dengan Aramco hingga akhirnya deal untuk investasi, misalnya saja Malaysia, China, dan Korea.
"Bagi saya investor selalu nyari yang bisa jamin investasinya. Dia punya standar investasi, misal saya investasi harus ada pengembalian rate of return sekian. Pertamina punya standar yang sama kalau saya investasi saya harus punya pengembalian investasi berapa," tegasnya.
Ari mempertanyakan kenapa valuasi nilai ini bisa tidak ketemu. Hal ini yang perlu dievaluasi apa yang menyebabkan. Jika melihat Aramco yang mau investasi di negara lain, mestinya di Indonesia mau juga.
"Nggak bisa dong, kalau valuasi saya yang paling bener you harus nyampe ini ya nggak bakal ketemu. Bagaimana cara mempertemukan, apa yang menghambat selama ini. Semua harus terbuka, termasuk Pertamina," paparnya.
Ia kembali menegaskan agar pemerintah beserta Pertamina duduk bersama dan membuat buku putih terkait proyek. Apa saja kendala dan jalan keluar terkait dengan permasalahan investasi kilang yang sudah menjadi masalah bertahun-tahun. Identifikasi satu per satu permasalahan dan jalan keluarnya.