
Warning dari Epidemiolog, Kasus Corona Bisa 'Meledak' di Jawa

Jakarta, CNBC Indonesia - Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman menyebut bahwa kasus Covid-19 di Pulau Jawa berpotensi 'meledak'.
Sebab itu, ia mengatakan bahwa Jawa harus bersiap untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara total.
Ketika membahas kasus Covid-19, banyak mata hanya tertuju pada DKI Jakarta saja sebagai ibu kota dengan kepadatan penduduk dan mobilitas tinggi sebagai episentrum wabah.
Tren kasus di DKI Jakarta memang terus meningkat. Hal ini tercermin dari pertambahan kasus harian yang tembus angka 2.000. Tren pertambahan kasus menggunakan indikator 7-day moving average juga mengindikasikan hal yang sama. Kasus terus bertambah dan tembus rata-rata 1.500 kasus per harinya dalam seminggu terakhir.
Namun sebenarnya bukan hanya DKI Jakarta saja yang mengkhawatirkan, tetapi seluruh Pulau Jawa. Pasalnya dari 700.000 kasus Covid-19 kumulatif yang dilaporkan di dalam negeri, sebanyak 57,9% disumbang oleh Pulau Jawa.
Apabila tren pertambahan kasus harian secara nasional mencapai angka 6.000 - 7.000 kasus belakangan ini, maka kontribusi pertambahan kasus di empat provinsi terbesar di Pulau Jawa mencapai lebih dari 4.000 kasus per hari atau setara dengan >60% dari total kasus harian.
Angka positivity rate yang tinggi juga dipermasalahkan oleh Dicky. Positivity rate merupakan salah satu indikator epidemiologi yang digunakan untuk mengindikasikan berapa banyak orang yang teridentifikasi positif Covid-19 jika dibandingkan dengan total tes yang dilakukan.
Saat ini angka positivity rate di Indonesia sudah menyentuh angka 20%. Secara sederhana ini berarti bahwa setiap 100 orang yang dites Covid-19 ada 20 orang yang positif terjangkit Covid-19.
Angka positivity rate yang menyentuh level dobel digit menunjukkan setidaknya dua hal. Pertama adalah wabah tidak bisa dikendalikan dan yang kedua juga menunjukkan tes yang kurang representatif.
Tes yang diakui untuk perhitungan kasus Covid-19 di Indonesia menggunakan dua metode yaitu swab PCR dan tes cepat molekuler (TCM) untuk wilayah-wilayah tertentu.
Setiap harinya target jumlah orang yang dites mencapai 30 ribu orang, sehingga dalam seminggu harus ada 270 ribu orang yang dites menggunakan dua metode tersebut.
Namun seringkali tes yang dilakukan tidak sampai memenuhi target. Fluktuasi dan inkonsistensi sampel yang dikoleksi membuat kualitas data Covid-19 menjadi diragukan. Padahal data memiliki peranan penting untuk pengambilan kebijakan pengendalian wabah.
Ini menjadi perhatian serius para dokter, ahli kesehatan masyarakat dan epidemiolog Tanah Air.
Minimnya tes yang dilakukan dan kendornya contact tracing yang dibarengi dengan pelanggaran protokol kesehatan 3M oleh masyarakat membuat kasus harian Covid-19 riil bisa lebih besar dari yang dilaporkan saat ini.
Padahal testing dan tracing manusia adalah hal basic yang mutlak diperlukan selama pandemi ini. Ketika negara-negara lain seperti Inggris menggunakan pendekatan surveilansi genomik virus Corona sehingga berhasil menemukan varian baru patogen penyebab Covid-19, Indonesia masih berkutat dengan jumlah tes yang rendah.
Kendati libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) dipangkas oleh pemerintah, tetapi hal tersebut tidak menjadi halangan bagi masyarakat untuk bepergian ke luar kota. Terpantau ada eksodus yang besar keluar dari tol arah Jakarta pada Natal kali ini.
Sebagai langkah antisipatif dari kemungkinan animo masyarakat yang tinggi untuk berlibur, pemerintah menyediakan spot-spot tertentu untuk melakukan tes rapid Covid-19 di sejumlah lokasi seperti bandara hingga rest area jalan tol terkhusus untuk orang yang keluar masuk ibu kota.
Jam operasional ritel, pusat perbelanjaan hingga tempat hiburan pun dibatasi oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya kerumunan besar dalam kurun waktu yang lama sehingga bisa meningkatkan penularan Covid-19.