BGS Bukan yang Pertama, Ini Dia Menkes Non-Dokter Negara Lain

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
23 December 2020 15:45
Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin
Foto: Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menunjuk Budi Gunadi Sadikin (BGS) menjadi Menteri Kesehatan (Menkes) menggantikan Terawan Agus Putranto. Tidak seperti Terawan yang memiliki latar belakang dari bidang kesehatan, BGS justru lebih banyak bergelut di dunia keuangan.

Sebelum didapuk menjadi Menkes, BGS membantu Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Wakil Menteri. BGS juga menduduki jabatan sebagai wakil komisaris utama PT Pertamina (Persero) mendampingi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Komisaris Utama.

BGS lebih dikenal sebagai seorang bankir karena pernah menjabat sebagai direktur utama salah satu bank pelat merah dengan aset terbesar di dalam negeri PT Bank Mandiri Tbk (BMRI). Pada periode pertama Jokowi menjabat, BGS juga sempat menjadi direktur utama holding pertambangan BUMN yang kala itu bernama Inalum.

Menjadi seorang menteri kesehatan apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini adalah tugas yang berat. Terutama bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang medis. Sekarang tanggung jawab tersebut ada di pundak BGS. 

Namun pria yang menempuh pendidikan tingginya di ITB dengan konsentrasi fisika nuklir itu tidak sendirian. Setidaknya ada 11 menteri kesehatan lain yang tidak memiliki background kesehatan masyarakat.

Bahkan mereka ini menduduki jabatan menteri kesehatan di negara-negara yang terbilang maju. Kebanyakan Menkes yang tidak dari kalangan praktisi atau ahli di bidang kesehatan masyarakat memiliki track record di dunia politik atau sebagai eksekutif pembantu pimpinan tertinggi negara dengan menjadi menteri.

Sebut saja Gan Kim Young mantan menteri Tenaga Kerja Singapura yang sejak 2018 sampai sekarang menjabat sebagai Menkes. Kemudian ada Patty Hajdu dari Kanada. Sama seperti Gan Kim Young, Patty Hajdu sebelum menjabat sebagai Menkes di 2019 mengemban amanah sebagai menteri ketenagakerjaan.

Di Inggris, Edward Agar adalah seorang politisi dan anggota parlemen sebelum menjadi Menkes. Pria lulusan Oxford yang mengambil program sejarah modern tersebut resmi menjadi Menkes Negeri Ratu Elizabeth sejak setahun silam.

Beralih ke Negeri Raja Minyak Arab Saudi, jabatan Menkes juga dipegang oleh orang di luar bidang kesehatan. Adalah Tawfig AlRabiah yang sebelumnya menjadi Menteri Perdagangan. Kini terhitung sudah empat tahun Tawfig menduduki jabatan menteri kesehatan Arab.

Selain BGS ada Norihisa Tamura di Jepang. Ia baru saja ditunjuk menjadi Menkes Negeri Sakura per 16 September lalu. Berlatar belakang bidang ekonomi dan hukum, mantan anggota parlemen itu kini harus kerja ekstra keras membantu Perdana Menteri Suga 'menjinakkan' Covid-19 di negaranya.

Apabila melihat beberapa menteri kesehatan non-medis di negara lain ada yang sudah menjabat selama satu tahun lebih, sebenarnya seperti apa sepak terjangnya? Untuk melihat bukti nyata kinerja para menteri kesehatan tersebut tidak bisa disamaratakan mengingat permasalahan kesehatan di setiap negara juga berbeda-beda spesifiknya. 

Berbicara tentang kesehatan seorang menteri dituntut untuk bisa setidaknya melakukan tugas dan fungsinya dalam tiga hal. Pertama tentu menyediakan akses layanan kesehatan yang merata bagi publik, meningkatkan aspek kesehatan masyarakat seperti usia harapan hidup, mortalitas terhadap suatu penyakit atau risiko kesehatan.

Terakhir yang tak kalah penting seorang menteri kesehatan juga dituntut untuk menghadirkan solusi konkret terhadap permasalahan spesifik di negara tersebut. Misalnya di Jepang, Norihisa Tamura juga harus memperhatikan aspek struktural demografi masyarakat Jepang yang kini populasinya mulai menua. 

Namun dari semua hal yang sudah disebutkan dan kekhasan masalah di negara masing-masing, ada satu tantangan yang sama-sama dihadapi para menteri. Apalagi kalau bukan pandemi Covid-19. 

Apabila menggunakan indikator epidemiologi yang cukup umum seperti kasus kumulatif, tingkat kematian, kesembuhan dan jumlah pasien aktif terlihat bahwa Singapura, Australia dan Selandia Baru cukup unggul dalam penanganan Covid-19. 

Terlepas dari aspek kepadatan populasi, kultur, tingkat mobilitas hingga struktur sektor ketenagakerjaannya, ketiga negara tersebut berhasil mencatatkan jumlah kasus kumulatif yang relatif rendah dibandingkan dengan negara lain. Tingkat kesembuhan pasien Covid-19 di tiga negara tersebut tergolong tinggi di kisaran 70%-90%.

Faktor pengambilan kebijakan yang efektif tentu turut memiliki andil dalam hal penanganan wabah Covid-19. Adanya koordinasi antara lembaga negara serta tujuan yang sama dan indikator kinerja yang terukur juga tidak bisa dipisahkan. Sehingga keunggulan relatif ini juga bukan saja buah dari kerja keras menteri kesehatan seorang.

Menilik Singapura yang dicap tergolong sukses dalam penanganan wabah, sebuah publikasi ilmiah yang ditulis oleh Kugoyo dkk pada Agustus lalu dengan judul Singapore COVID-19 Pandemic Response as a Successful Model Framework for Low-Resource Health Care Settings in Africa? membahas rahasia suksesnya. 

Singapura belajar banyak wabah SARS tahun 2002. Merespons pandemi Pemerintah Negeri Singa langsung mendirikan 900 klinik kesiapsiagaan kesehatan masyarakat (PHPC).

PHPC berfungsi sebagai perantara antara masyarakat dan rumah sakit, menyaring semua pasien dengan gejala mirip flu atau pneumonia ke dalam kelompok berisiko rendah dan berisiko tinggi. Kelompok berisiko tinggi dirujuk ke rumah sakit penyakit menular untuk penilaian dan pengelolaan lebih lanjut.

Skrining terhadap semua pasien dengan gejala mirip flu penting dilakukan, karena pada kemunculan pertama, gejala Covid-19 tidak terdefinisi dengan baik dan sering disalahartikan dengan influenza musiman.

Di sini bisa dilihat bahwa kunci utama dalam merespons pandemi adalah kesiapsiagaan dengan memperhitungkan berbagai risiko yang ada. Kesigapan Singapura dalam merespons pandemi dan tidak menganggap remeh perlu diacungi jempol. 

Kesigapan dalam merespons pandemi, kebijakan antar lembaga yang sering kontradiktif serta koordinasi pusat dan daerah yang tak selaras inilah yang semakin membuat permasalahan pandemi di Tanah Air menjadi kompleks.

Inilah tugas berat yang sekarang ada di pundak BGS, sebagai masyarakat mari kita lihat terobosan dan sepak terjangnya untuk membawa Indonesia keluar dari pagebluk yang telah merenggut lebih dari 20 ribu nyawa orang di Tanah Air ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular