
Banyak Impor, Bagaimana Tingkat Ketahanan Energi RI?
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia disebut tengah berada dalam ancaman krisis energi nasional, terutama karena semakin tingginya tingkat ketergantungan sumber energi dari negara lain melalui impor, baik minyak, produk minyak atau bahan bakar minyak (BBM) hingga Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Lantas, apa ini artinya tidak ada ketahanan energi nasional? Sejauh mana tingkat ketahanan energi RI saat ini?
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, dari sisi skor, Indonesia memiliki nilai 6,57 dari sisi ketahanan energi atau berada pada posisi 'tahan'.
Namun demikian, menurutnya diperlukan sejumlah usaha untuk meningkatkan nilai tersebut ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
"Dari sisi scoring, kita di 6,57 atau tahan. Ini menjadi tantangan bersama untuk meningkatkan lagi ke level yang lebih tinggi menjadi sangat tahan," ungkapnya dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia, Meraih Peluang Pemulihan Ekonomi 2021, Selasa (22/12/2020).
Menurutnya, penilaian ketahanan energi ini penting guna menyusun langkah besar energi nasional ke depannya, termasuk bagaimana mengatur suplai dan permintaan energi di masa mendatang.
"Ini menjadi dasar untuk menyusun grand strategy energi nasional, bagaimana suplai dan demand energi Indonesia ke depan," tuturnya.
Dia mengatakan, energi merupakan salah satu faktor penting untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. Melalui ketersediaan energi, bisa mendorong aktivitas masyarakat dan industri.
![]() Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2021. (Tangkapan Layar Youtube PerekonomianRI) |
Namun dalam kasus Indonesia, masalah energi bukan hanya dari sisi ketersediaan, tapi juga keterjangkauan, termasuk harga yang terjangkau, sehingga harus bisa diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia.
"Kita bicara tentang rencana pemulihan berkelanjutan, peran energi penting. Rencana pemerintah untuk mewujudkan ketahanan energi nasional bukan hanya untuk menjamin ketersediaan, tapi bagaimana energi bisa diakses oleh seluruh masyarakat di seluruh nusantara dengan harga terjangkau," paparnya.
Menurutnya, untuk mencapai tingkat ketahanan energi yang tinggi, maka isu keterjangkauan, aksesibilitas dan penerimaan masyarakat juga menjadi hal penentu.
"Kalau bicara ketahanan dan untuk mewujudkan kemandirian energi, bobot terbesar yang dievaluasi adalah affordability (keterjangkauan), karena energi harus bisa terjangkau. Kedua, aksesibilitas (hal yang dapat diakses) dan bobot besar ini harus ditambah. Lalu, acceptability (hal yang dapat diterima) juga penting untuk jadi pertimbangan," paparnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bos Pertamina Beberkan Alasan RI Banyak Impor Energi
