
Iklim Investasi Sektor Migas RI Tak Menarik, Ini Pemicunya
![[DALAM] Harga Minyak Drop](https://awsimages.detik.net.id/visual/2020/04/21/9df6cbdb-ad16-4140-90cc-20cea52fd6ef_169.jpeg?w=900&q=80)
Jakarta, CNBC Indonesia - Investasi sektor minyak dan gas bumi (migas) RI disebut kurang menarik di mata investor. Hal ini ditandai dengan menurunnya investasi serta tidak tercapainya target investasi di sektor ini.
Menurut Pengamat Migas dan Direktur Utama Pertamina Periode 2006-2009 Ari Soemarno, investasi sektor energi di Tanah Air mengalami tantangan sejak 2014, di mana titik terendahnya terjadi pada 2017 dan mulai pulih pada 2019.
Namun sayangnya, pada 2020 terjadi pandemi Covid-19 sehingga investasi pun turun drastis. Meski terpengaruh oleh pandemi, namun Ari menyebut secara keseluruhan memang sudah ada penurunan minat investasi pada sektor migas di Indonesia.
"Produksi tidak ada peningkatan, 2020 produksi minyak turun menjadi sekitar 710 ribu barel per hari (bph) dan sebagian besar adalah penurunan alami, pengaruh pandemi sekitar 20% dari 80% lapangan sudah tua dan produksi secara alami menurun," paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (21/12/2020).
Lebih lanjut dia mengatakan, ada dua hal yang membuat investasi di sektor migas tidak menarik, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal menurutnya karena Indonesia sudah menjadi negara yang dinilai tidak atraktif untuk investasi migas di Indonesia dan sudah berjalan sejak 2016.
Bahkan, pada 2017 dan 2018 investasi di hulu migas Indonesia menurutnya menjadi salah satu dari lima negara yang paling tidak menarik untuk investasi.
"Insentif fiskal yang tidak kompetitif, masalah birokrasi, perizinan lainnya, dan pemerintah mengadopsi pola bagi hasil lain seperti gross split yang tidak menarik bagi para pelaku migas ini yang terjadi di dalam negeri," paparnya.
Dan juga, imbuhnya, kebijakan nasionalisme sempit seperti lapangan migas yang sudah berakhir masa kontraknya diserahkan kepada Pertamina seperti terjadi di Blok Mahakam dan Rokan. Menurutnya, ini membuat pelaku migas menjadi ragu untuk berinvestasi.
Kemudian, dari sisi faktor eksternal, menurutnya ini terlihat dari perusahaan migas dunia melakukan konsolidasi akibat pandemi, bahkan investasi hulu migas secara global pada 2020 dibandingkan 2015 turun hampir separuh.
"Yang tadinya US$ 600-700 miliar, tahun 2020 hanya menjadi US$ 300 miliar. Jadi, memang mereka sedang lakukan konsolidasi karena faktor penurunan konsumsi dan harga. Dan juga satu lagi faktor mereka mengarah ke energi terbarukan dan low carbon emission, bahkan zero carbon di 2050," tegasnya.
Seperti diketahui, pemerintah memiliki target produksi minyak 1 juta barel per hari (bph) pada 2030, tapi dengan faktor internal yang cukup banyak pengaruhi investasi, maka menurutnya target tersebut akan sulit dicapai.
"Sangat sulit kalau kita hanya mengandalkan sumber-sumber daya dalam negeri baik sumber daya teknologi, perusahaan, maupun sumber daya finansial, jelas nggak mungkin. Kita perlu investasi dari luar yang sangat agresif," tegasnya.
Ari menegaskan ini menjadi tantangan utama ke depan. Daya tarik investasi migas Indonesia kalah dengan daya tarik migas di negara lain seperti Vietnam dan juga Myanmar. Dia menyebut sampai sekarang belum ada hal-hal signifikan yang menjadi terobosan mendongkrak investasi signifikan.
"Tahun 2021 ini jangan terlalu harapkan investasi migas global akan meningkat tajam. Bahkan prediksi terakhir yang saya lihat bahwa investasi akan tetap saja seperti 2020 US$ 300 miliar," tuturnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investasi Migas 2020 Terpuruk, Ini 2 Biang Kerok Utamanya
