Harga Gak Stabil, Gimana Nasib Kelanjutan Program Biodiesel?

Emir Yanwardhana, CNBC Indonesia
16 December 2020 19:44
Laboratorium pengembangan B40 milik ESDM. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Laboratorium pengembangan B40 milik ESDM. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah mengatakan butuh kestabilan harga biodiesel agar program pengembangan biodiesel mulai dari B30 dan seterusnya dapat terus berlanjut ke depannya.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.

Dia mengatakan, ketidakstabilan harga terjadi pada kondisi pandemi Covid-19 saat ini, sehingga kondisi ini cukup menyulitkan.

"Bicara prinsip yang lebih makro, kita harus pastikan harga biodiesel ini stabil dan terkendali karena di sektor energi ini yang dibutuhkan adalah kestabilan," katanya dalam diskusi 'Masa Depan Biodiesel Indonesia: Bincang Pakar Multi Perpspektif' yang ditayangkan dalam kanal YouTube Majalah Sawit Indonesia, Rabu (16/12/2020).

Dadan menjelaskan, dalam penentuan alokasi biodiesel ke depan pihaknya harus yakin soal harga biodiesel, sehingga bisa menjamin ketersediaan suplai dan menjaga kualitas biodiesel dengan baik.

"Proses produksi harus makin efisien, biaya konversi juga harus semakin efisien sebagai gambaran agar industri kita semakin maju dan berkelanjutan," katanya.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto mengatakan, pada tahun ini harga keekonomian biodiesel menjadi terganggu akibat adanya pandemi Covid-19.

Harga CPO tinggi, sedangkan harga solar rendah, khususnya harga Fatty Acid Methyl Esters (FAME) lebih tinggi dibandingkan harga solar, sehingga subsidi yang dibutuhkan untuk menutup selisih kedua harga komoditas tersebut meningkat.

"Sehingga dana iuran ekspor yang terkumpul kurang lebih Rp 26 triliun sudah habis sejak Agustus. Ini kita sedang pusing gimana supaya semuanya jalan, B30 jalan semuanya jalan, ini kita pusing gimana caranya selisih harga dibiayai. Kita sudah minta APBN juga, kita juga memikirkan menaikkan iuran ekspor, tapi tantangan tidak mudah," katanya.

Bila ini terus terjadi, maka menurutnya produsen bisa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan biodiesel. Untuk ketersediaannya, dia meminta agar dana iuran ekspor sawit dinaikkan. Selain itu, dia juga meminta insentif dari program BPDPKS yang bersumber dari dana pungutan ekspor produsen CPO.

"Kita minta ada kenaikan dana iuran ekspor, tentu beberapa pihak akan keberatan," katanya.

Seperti diketahui, pemerintah telah kembali mengubah besaran tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/ CPO) menjadi disesuaikan berdasarkan batasan lapisan nilai harga CPO yang mengacu pada harga referensi yang ditetapkan Menteri Perdagangan.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No.57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kementerian Keuangan.

Peraturan ini mulai berlaku setelah tujuh hari sejak diundangkannya peraturan ini pada 3 Desember 2020. Ini artinya, tarif ekspor baru ini berlaku pada Kamis, 10 Desember 2020.

Dalam peraturan baru ini, tarif pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit (CPO) minimal sebesar US$ 55 per ton dan paling tinggi US$ 255 per ton. Tarif pungutan US$ 55 per ton dengan asumsi harga CPO berada di bawah atau sama dengan US$ 670 per ton.

Untuk harga CPO di atas US$ 670 per ton sampai dengan US$ 695 per ton, maka tarif pungutan ekspor naik sebesar US$ 5 per ton menjadi US$ 60 per ton. Namun, bila harga CPO di atas US$ 695 per ton sampai dengan US$ 720 per ton, maka tarif pungutan naik lagi sebesar US$ 15 per ton menjadi US$ 75 per ton.

Begitu pun bila harga CPO di atas US$ 720 per ton sampai US$ 745 per ton, pungutan akan naik menjadi US$ 90 per ton. Dan seterusnya, setiap harga CPO naik US$ 25 per ton, maka pungutan ekspor akan naik sebesar US$ 15 per ton. Bila harga CPO di atas US$ 995 per ton, maka tarif pungutan ekspor mencapai US$ 255 per ton.

Jumlah pungutan yang sama terjadi pada Crude Palm Kernel Oil (CPKO), Crude Palm Olein.

Sementara pada peraturan sebelumnya, tarif pungutan ekspor dipatok tetap US$ 55 per ton tanpa membedakan harga referensi minyak sawit.

Sedangkan untuk pungutan ekspor biodiesel dipatok minimal US$ 25 per ton dan paling tinggi US$ 192,5 per ton. Tarif pungutan ekspor biodiesel sebesar US$ 25 per ton dengan asumsi harga CPO di bawah atau sama dengan US$ 670 per ton. Lalu naik menjadi US$ 30 per ton bila harga CPO di atas US$ 670 per ton sampai US$ 695 per ton.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jawab Keraguan, Fakta: Biodiesel Sudah Lama Dipakai

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular