
Menguak 'Cuan' RI-Israel, Begini Hubungan Jakarta-Tel Aviv

Apabila berkaca pada sejarah, sebenarnya ada upaya untuk membangun koneksi antara Indonesia dengan Israel. Hal ini juga ditulis oleh The Washington Institute dalam situs resminya. Sebagai informasi, The Washington Institute merupakan lembaga think tank yang berfokus pada studi kebijakan politik AS-Timur Tengah.
Semua berawal pada tahun 1993 ketika rezim Orde Baru masih berkuasa di Tanah Air. Kala itu momentumnya adalah penandatanganan kesepakatan Oslo yang memuat Deklarasi Prinsip-Prinsip Fasilitasi Pemerintahan Sendiri secara sementara antara Israel dan Palestina.
Perdana Menteri Israel kala itu Yitzhak Rabin berkunjung ke Jakarta untuk menemui Presiden Soeharto. Tahun berikutnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selaku ketua Nahdlatul Ulama (NU) yang kemudian menjadi presiden Indonesia, melakukan perjalanan ke Yerusalem untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai Israel-Yordania.
Gus Dur kembali mengunjungi Israel pada tahun 1997. Kunjungannya kala itu tak lain dan tak bukan adalah beruapaya untuk memediasi pemulihan hubungan Arab-Yahudi. Kunjungan Gus Dur tersebut tentu menuai kontroversi dari berbagai kalangan Muslim Tanah Air. Ada yang mendukung tapi banyak pula yang mengkritik.
Setelah sekian lama mandek, langkah selanjutnya ditempuh oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengusulkan solusi dua negara untuk pertama kalinya pada tahun 2012. Hal ini semakin meningkatkan kemungkinan bahwa Jakarta dapat memiliki peran lebih dalam konteks perdamaian Israel-Palestina.
Upaya untuk membangun hubungan diplomatis tidak hanya berhenti sampai di situ saja, Jusuf Kalla (JK) selaku wakil presiden ke 10 dan 12 RI juga mendorong langkah serupa ketika menjabat sebagai wakil presiden.
Pada tahun 2014, JK menyatakan bahwa Indonesia tidak dapat menjadi penengah jika kita tidak mengenal Israel. Pria berusia 78 tahun itu mengatakan bahwa Indonesia harus dekat baik dengan Israel dan Palestina.
Langkah tersebut berlanjut di tahun 2018. JK berbincang dengan Perdana Menteri Binyamin Netanyahu di sela-sela Sidang Umum PBB. Pada tahun yang sama, ketua NU Yahya Staquf juga melakukan perjalanan ke Israel dan juga bertemu dengan Netanyahu.
Banyak pihak yang mendorong Indonesia untuk segera membangun hubungan diplomatis dengan Israel karena menilai manfaatnya lebih banyak. Pertama tentu manfaat dari segi keamanan.
Dalam hal ini Israel menawarkan keahlian tidak hanya dalam menghadapi ancaman yang sudah berlangsung lama seperti terorisme, tetapi juga keamanan wilayah di mana Indonesia menghadapi ancaman yang muncul mulai dari serangan siber hingga keamanan pesisir.
Di sisi lain tujuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam mewujudkan perdamaian dunia juga akan lebih mudah jalannya karena bisa langsung memahami perspektif permasalahan Israel-Palestina dari dua sudut pandang mengingat konflik keduanya tergolong kompleks dan tidak hanya masalah teritorial semata tetapi juga kultural.
Saat ini sudah banyak negara-negara di blok Timur Tengah yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Paling baru ada UEA dan juga Bahrain. Namun kemungkinan jalan untuk normalisasi hubungan dengan Israel ini menemui kendala dari sisi kondisi perpolitikan domestik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg)