
Menguak 'Cuan' RI-Israel, Begini Hubungan Jakarta-Tel Aviv

Jakarta, CNBC Indonesia - Baru-baru ini muncul isu bahwa Indonesia akan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Kabar ini justru datang dari luar yang tak lain dan tak bukan adalah media Israel itu sendiri, Times of Israel. Sampai saat ini Indonesia memang tidak punya hubungan diplomatik formal dengan Israel.
Sumber diplomatik Israel menyebut ada dua negara yang akan menormalisasi hubungan dengan pihak Israel sebelum Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump turun dari jabatannya pada 20 Januari 2021 nanti. Dua negara tersebut adalah Indonesia dan Oman.
Bahkan Menteri Intelijen Israel, Eli Cohen juga menyebut Indonesia dalam wawancara mengenai normalisasi hubungan diplomatik pada Radio Angkatan Darat. Wawancara tersebut juga dimuat oleh media lokal The Jerusalem Post.
Saat dikonfirmasi akan hal itu pihak Kementerian Luar Negeri melalui juru bicaranya yaitu Teuku Faizasyah menepis rumor tersebut.
"Ada dua hal yg bisa disampaikan disini. Satu, Kemlu tidak pernah berhubungan dengan Israel. Kedua, dalam menjalankan Politik Luar Negeri, Kemlu terhadap Palestina konsisten sesuai amanah konstitusi," kata Teuku melalui pesan singkat kemarin.
Tidak adanya bentuk hubungan diplomatik formal antara Indonesia-Israel memiliki sejarah yang panjang. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh amanat Undang-Undang Dasar yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa kebijakan luar negeri Indonesia menentang keras berbagai bentuk kolonialisme.
Agresi militer Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza dianggap sebagai salah satu bentuk penindasan dan penjajahan apabila menggunakan sudut pandang alinea pertama Pembukaan UUD 1945.
Meski banyak pihak yang menilai hal tersebut sudah tidak relevan dan Indonesia didorong untuk membuka gerbang diplomasi dengan Israel, tetapi kebijakan politik luar negeri Indonesia tetap sama yaitu menginginkan adanya perdamaian antara Israel dengan Palestina.
Kendati tak memiliki hubungan diplomatik yang formal sebenarnya sejak era Presiden Soeharto, Indonesia tetap menjalin hubungan dengan Israel melalui berbagai jalur seperti perdagangan hingga pariwisata. Namun hubungan ini terbatas.
Turis asing asal Israel yang tidak bisa berkunjung ke Indonesia harus mendapatkan visa lewat Singapura. Selain sebagai salah satu pusat keuangan di Asia Tenggara, Singapura juga memiliki peran dalam hubungan Indonesia-Israel. Kedutaan besar Israel di Singapura sering dianggap sebagai salah satu perwakilan Israel untuk RI.
Begitu juga sebaliknya setiap tahun ada puluhan ribu komunitas Muslim maupun Kristen yang berkunjung ke tempat suci di Israel. Jumlahnya terus meningkat seiring dengan berkembangnya jaringan penerbangan yang lebih pendek dan lebih murah melalui Uni Emirat Arab (UEA).
Dari sisi perdagangan Indonesia mengekspor kurang lebih 59 kelompok produk ke Israel senilai US$ 120,3 juta pada 2019. Menggunakan asumsi kurs Rp 14.000/US$ maka nilai ekspor RI ke Israel mencapai Rp 1,68 triliun
Produk yang diekspor Indonesia ke Israel pun beragam mulai dari yang berbasis komoditas pertanian maupun tambang hingga barang-barang hasil industri manufaktur seperti mesin.
Namun produk yang paling tinggi nilai ekspornya adalah minyak dan lemak nabati maupun hewani senilai US$ 27,5 juta dan cokelat senilai US$ 13,1 juta. Pangsa ekspor kedua produk tersebut mencapai sepertiga dari total ekspor RI ke Israel.
Sementara dari sisi impor, ada 45 kategori produk yang dibeli RI dari Israel tahun lalu. Nilai impor Indonesia dari Israel pada 2019 mencapai US$ 25,27 juta atau setara dengan Rp 353,78 miliar. Produk yang diimpor paling banyak dari Israel mayoritas adalah barang-barang industri seperti mesin hingga alat-alat elektronik.
Dalam lima tahun terakhir (2015-2019) rata-rata nilai perdagangan bilateral Indonesia-Israel tercatat mencapai US$ 191.55 juta yang setara dengan Rp 2,68 triliun. Nilainya memang tergolong kecil jika dibandingkan dengan total perdagangan Indonesia dengan negara lain.
Apabila berkaca pada sejarah, sebenarnya ada upaya untuk membangun koneksi antara Indonesia dengan Israel. Hal ini juga ditulis oleh The Washington Institute dalam situs resminya. Sebagai informasi, The Washington Institute merupakan lembaga think tank yang berfokus pada studi kebijakan politik AS-Timur Tengah.
Semua berawal pada tahun 1993 ketika rezim Orde Baru masih berkuasa di Tanah Air. Kala itu momentumnya adalah penandatanganan kesepakatan Oslo yang memuat Deklarasi Prinsip-Prinsip Fasilitasi Pemerintahan Sendiri secara sementara antara Israel dan Palestina.
Perdana Menteri Israel kala itu Yitzhak Rabin berkunjung ke Jakarta untuk menemui Presiden Soeharto. Tahun berikutnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selaku ketua Nahdlatul Ulama (NU) yang kemudian menjadi presiden Indonesia, melakukan perjalanan ke Yerusalem untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai Israel-Yordania.
Gus Dur kembali mengunjungi Israel pada tahun 1997. Kunjungannya kala itu tak lain dan tak bukan adalah beruapaya untuk memediasi pemulihan hubungan Arab-Yahudi. Kunjungan Gus Dur tersebut tentu menuai kontroversi dari berbagai kalangan Muslim Tanah Air. Ada yang mendukung tapi banyak pula yang mengkritik.
Setelah sekian lama mandek, langkah selanjutnya ditempuh oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengusulkan solusi dua negara untuk pertama kalinya pada tahun 2012. Hal ini semakin meningkatkan kemungkinan bahwa Jakarta dapat memiliki peran lebih dalam konteks perdamaian Israel-Palestina.
Upaya untuk membangun hubungan diplomatis tidak hanya berhenti sampai di situ saja, Jusuf Kalla (JK) selaku wakil presiden ke 10 dan 12 RI juga mendorong langkah serupa ketika menjabat sebagai wakil presiden.
Pada tahun 2014, JK menyatakan bahwa Indonesia tidak dapat menjadi penengah jika kita tidak mengenal Israel. Pria berusia 78 tahun itu mengatakan bahwa Indonesia harus dekat baik dengan Israel dan Palestina.
Langkah tersebut berlanjut di tahun 2018. JK berbincang dengan Perdana Menteri Binyamin Netanyahu di sela-sela Sidang Umum PBB. Pada tahun yang sama, ketua NU Yahya Staquf juga melakukan perjalanan ke Israel dan juga bertemu dengan Netanyahu.
Banyak pihak yang mendorong Indonesia untuk segera membangun hubungan diplomatis dengan Israel karena menilai manfaatnya lebih banyak. Pertama tentu manfaat dari segi keamanan.
Dalam hal ini Israel menawarkan keahlian tidak hanya dalam menghadapi ancaman yang sudah berlangsung lama seperti terorisme, tetapi juga keamanan wilayah di mana Indonesia menghadapi ancaman yang muncul mulai dari serangan siber hingga keamanan pesisir.
Di sisi lain tujuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam mewujudkan perdamaian dunia juga akan lebih mudah jalannya karena bisa langsung memahami perspektif permasalahan Israel-Palestina dari dua sudut pandang mengingat konflik keduanya tergolong kompleks dan tidak hanya masalah teritorial semata tetapi juga kultural.
Saat ini sudah banyak negara-negara di blok Timur Tengah yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Paling baru ada UEA dan juga Bahrain. Namun kemungkinan jalan untuk normalisasi hubungan dengan Israel ini menemui kendala dari sisi kondisi perpolitikan domestik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg) Next Article 'Normalisasi Hubungan Indonesia-Israel Berisiko Tinggi'
