Pengusaha Hotel 'Pusing 7 Keliling' Jelang Akhir Tahun, Why?

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
15 December 2020 09:35
Hotel Mercure Jakarta Selatan yang Dijual (Screenshot via OLX)
Foto: Ilustrasi hotel (Screenshot via OLX)

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir tahun 2020 sudah semakin dekat. Akan tetapi, pengusaha di sektorĀ hotel dan restoran masih belum bisa bernafas lega.

Mereka pun mewanti-wanti masyarakat tidak ada refund atau pengembalian uang akibat pembatalan libur akhir tahun oleh pemerintah. Sebagai gantinya, pengusaha menyarankan adanya pergantian jadwal (reschedule) untuk tiket dan hotel yang sudah dibeli.

"Yang jadi masalah pemerintah mendadak mengubah kebijakan cuti bersama dipotong. Ini nggak semua konsumen yang sudah booking mendapatkan kembali. Full refund agak rumit, nggak serta merta didapatkan karena kesalahan yang serta merta dari kita, tapi dari pemerintah sendiri, konteksnya sangat berbeda," kata Sekretaris Jenderal Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran kepada CNBC Indonesia, kemarin.

Pembatalan reservasi bukan hanya berdampak pada hotel, namun juga ekosistem di dalamnya. Misalnya pada restoran yang harus memesan banyak bahan baku. Maulana menyarankan agar masyarakat lebih memilih untuk reschedule daripada melakukan refund.

"Walau dari pariwisata terpuruk tapi dari demand side menggoda. Karena harga-harga yang diberikan pelaku usaha jauh sangat rendah walau momentum high season. Sekarang masyarakat dapat hotel bintang 5, harga bintang 3, harga pun akan sangat murah. Biasanya momentum high season naik karena supply lebih besar," jelasnya.

Akhir tahun ini praktis menjadi satu-satunya waktu yang ditunggu oleh kalangan pengusaha untuk bertahan hidup lebih lama. Jika melihat ke depan, momen high season yang bisa dimanfaatkan sudah tidak ada lagi di awal tahun depan.



"Tiga bulan awal setiap tahun itu menjadi low season, mengharapkan kegiatan pemerintahan pun cukup sulit karena pencairan anggaran biasanya di April," kata Maulana. "80%-90% daerah di Indonesia mengandalkan dari kegiatan pemerintahan, itu bisa kita pastikan," lanjutnya.

Demi mendukung sektor yang sudah megap-megap ini, Maulana menilai bantuan bukan lagi dalam bentuk subsidi. Sebab, jika mengarahkan pada bentuk itu akan sulit, apalagi jika melihat permintaan yang tidak menentu.

Pengusaha menjadi takut untuk meminjam karena permintaan yang tidak jelas, sementara bank ragu memberi pinjaman karena memiliki potensi besar untuk gagal.

"Saat ini demand nggak pasti. Kalau mau bantu sektor pariwisata, bantu pelaku usahanya dulu, jangan sampai dia kolaps. Dari pada subsidi, mending pemerintah create demand. Ekonomi ekosistemnya harus jalan dulu, ada kekhawatiran kalau subsidi disimpan duitnya. Tapi kalaupun ada subsidi, uangnya untuk bertahan, bukan menguntungkan. Mana kira-kira daerah yang membutuhkan bantuan, misalnya Bali," jelasnya.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Iseng, Pengusaha Jual Hotel Karena Memang Lagi Susah!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular