Jakarta, CNBC Indonesia - Perbaikan fundamental di pasar akibat meningkatnya kebutuhan batu bara di India dan China dan pemangkasan produksi di negara-negara produsen membuat harga si batu legam terangkat. Kenaikan harga yang signifikan ini menimbulkan pertanyaan terkait keekonomian proyek hilirisasi batu bara yang tengah digenjot di Tanah Air, terutama proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME).
Dalam enam bulan terakhir harga kontrak batu bara Newcastle maupun kontrak untuk batu bara Indonesia dengan kalori rendah 4.200 Kcal/Kg telah naik lebih dari 40%. Harga batu bara acuan juga naik dobel digit. Di saat yang sama harga minyak dan gas juga mengalami kenaikan, tetapi belum pulih ke level sebelum pandemi Covid-19.
Kenaikan harga batu bara yang signifikan sebagai bahan baku produksi DME tentu akan berdampak pada nilai keekonomian proyek gasifikasi batu bara Tanah Air, apalagi di tengah rendahnya harga minyak dan gas.
Namun, untuk melihat aspek nilai keekonomian suatu proyek diperlukan beberapa analisa seperti biaya produksi, perkembangan permintaan di pasar, teknologi yang digunakan, harga produk substitusi (LPG) hingga insentif yang diberikan oleh regulator.
Saat ini pemerintah tengah menggenjot hilirisasi batu bara untuk menghasilkan DME. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah mewujudkan kemandirian energi. Pasalnya, selama ini konsumsi LPG di Indonesia terus meningkat sejak keberhasilan konversi minyak tanah ke LPG hampir dua dekade silam.
PT Bukit Asam Tbk (PTBA) salah satu emiten batu bara pelat merah menggaet PT Pertamina (Persero) dan Air Products untuk menggarap proyek gasifikasi batu bara menjadi DME di Tanjung Enim, Sumatra Selatan.
Proyek tersebut akan menelan biaya investasi sebesar US$ 2,1 miliar atau lebih dari Rp 30 triliun. Dalam proyek ini, Air Products berperan sebagai investor dan skema kerja sama yang digunakan adalah Build-Operate-Transfer (BOT) selama 20 tahun.
Artinya, setelah habis masa berlakunya BOT, maka proyek ini akan menjadi proyek patungan (joint venture/JV) antara PTBA dan PT Pertamina (Persero), meski belum lama ini Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin menyebutkan adanya opsi PTBA dan Pertamina bisa memiliki saham di proyek ini setahun setelah proyek ini beroperasi. Untuk saat ini PTBA akan memasok batu bara kalori rendahnya sebagai bahan baku.
Setiap tahunnya konsumsi batu bara dari proyek tersebut mencapai 6 juta ton atau hampir 22% dari volume penjualan dan produksi batu bara PTBA saat ini. Dari volume pasokan batu bara tersebut, dapat menghasilkan 1,4 juta ton DME yang bisa mengganti 980 ribu ton impor LPG yang setara dengan penurunan 10%-17% impor pada periode 2019-2024.
Tim Kajian Hilirisasi batu bara Balitbang ESDM mengklaim studi kelaikan PT Bukit Asam (PTBA) menghasilkan keekonomian proyek dengan Net Present Value (NPV) sebesar US$ 350 juta dan Internal Rate of Return (IRR) sekitar 11%. Melihat angka tersebut, maka proyek ini masih ekonomis alias tidak rugi.
Dalam laporan terbarunya pada November lalu, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) justru menilai proyek gasifikasi batu bara yang dilakukan oleh PTBA tidak ekonomis.
IEEFA menilai proyek gasifikasi ini sama sekali tidak make sense karena hanya akan menimbulkan kerugian operasional sebesar US$ 377 juta per tahunnya atau dengan asumsi kurs Rp 14.000/US$ sebesar Rp 5,28 triliun.
Dalam laporan tersebut IEEFA menilai ongkos impor LPG dengan harga US$ 365 per ton hanya akan menimbulkan biaya sebesar US$ 357 juta atau lebih rendah hampir US$ 19 juta ton dari proyek gasifikasi batu bara ini.
Ongkos produksi per ton DME diperkirakan mencapai US$ 470 per ton. Sementara harga DME terdiskon 30% dari LPG di kisaran US$ 256 karena memiliki kandungan energi yang lebih rendah.
Sebagai perbandingan untuk 1 kg DME memiliki konten energi 6.900 Kcal, sementara untuk 1 kg LPG nilai kalorinya mencapai 11.100 Kcal. Artinya, selain hanya akan menimbulkan kerugian, energi yang dihasilkan pun kandungannya lebih rendah, sehingga menjadi kurang efisien.
Hal ini jelas berbanding terbalik dengan estimasi kelaikan proyek yang dilakukan oleh pihak kementerian ESDM. Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut ada beberapa perbedaan dalam metode dan pendekatan dalam perhitungan.
Pertama adalah terkait skema. Dalam laporan IEEFA skema yang digunakan untuk proyek gasifikasi ini adalah debt funded. Sementara realitanya, proyek ini melibatkan investor asing dalam hal ini adalah Air Products yang merupakan mitra bisnis dari Amerika Serikat (AS).
Kedua adalah asumsi harga batu bara yang digunakan pada laporan IEEFA adalah US$ 37 per ton. Namun berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, pemerintah telah memberikan insentif untuk kelayakan proyek dengan mematok harga di US$ 20 - US$ 21 per ton.
Kemudian, dalam laporan IEEFA disebut bahwa volume batu bara yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1,4 juta ton sebesar 6,5 juta ton. Ini berarti untuk menghasilkan 1 ton DME butuh 4,6 ton batu bara.
Padahal, jika mengacu pada kajian Kementerian ESDM, penggunaan batu bara bisa ditekan 500 ribu ton lebih rendah dan menghasilkan faktor konversi menjadi 4,3 : 1. Artinya hanya butuh sekitar 4,3 ton batu bara untuk menghasilkan 1 ton DME.
Imbasnya adalah pada ongkos produksi DME berbasis batu bara. Jika pada laporan IEEFA total biaya produksi DME dari batu bara mencapai US$ 170,2 per ton, maka sebenarnya hanya butuh US$ 88,15 per ton saja atau lebih rendah 48,2%.
Jika diasumsikan rata-rata biaya produksi DME untuk kategori selain batu bara seperti katalis dan berbagai input lain sebesar US$ 300 per ton, maka total produksi DME per ton mencapai US$ 470 versi IEEFA. Namun sebenarnya sangat mungkin di bawah itu yakni di kisaran US$ 388 per ton atau lebih rendah 17,4%.
Bayangkan jika dalam proses produksi komponen biaya bisa lebih efisien 10%, maka total biaya produksinya tak sampai US$ 360 per ton. Kalkulasi IEEFA untuk biaya produksi mengacu pada perusahaan DME China yakni Shanxi Lanhua Sci-Tech Venture.
Kemudian, asumsi harga DME dan LPG yang digunakan IEEFA untuk menilai studi kelayakan proyek gasifikasi juga sangatlah rendah dan selisihnya juga jauh. IEEFA menggunakan acuan harga LPG sebesar US$ 365 per ton dengan harga DME terdiskon 30% menjadi US$ 256 per ton.
Harga tersebut berada di bawah kisaran harga saat ini. Itu adalah harga impor 1 ton LPG di Indonesia. Perlu diketahui, harga LPG dan minyak mentah memang drop signifikan akibat pandemi Covid-19. Namun, seiring dengan outlook perekonomian yang membaik, harga minyak dan LPG sudah berangsur membaik.
Hal ini terbukti dari pergerakan harga LPG. Untuk kontrak propana Saudi Aramco yang ditransaksikan di bursa komoditas New York pengiriman Januari 2021 sudah berada di posisi US$ 450 per ton. Propana merupakan salah satu komponen LPG.
Sementara itu di bursa komoditas Dalian, harga futures LPG sudah tembus di atas US$ 500 per ton, sedangkan untuk harga rata-rata DME China kini sudah tembus di US$ 400 per ton. Kedua komoditas ini harganya akan berbanding lurus.
Dengan harga tersebut dan kalkulasi ongkos yang sudah diperhitungkan, sebenarnya proyek gasifikasi batu bara di RI masih ekonomis. Hal itu belum memasukkan perhitungan dari adanya pembebasan royalti bagi yang menggarap proyek ini. Tentu kebijakan royalti nol persen sangat berdampak bagi keekonomian proyek ini.
Dari sisi bisnis, proyek gasifikasi batu bara menjadi DME sebenarnya juga membawa dampak ekonomi yang banyak. Berikut ini adalah dampak ekonomi secara luas dari adanya proyek DME yang saat ini diinisiasi oleh PTBA.
Pertama, pemanfaatan sumber daya alam yang lebih optimal. Indonesia terkenal sebagai produsen sekaligus eksportir batu bara global. Cadangan batu bara nasional ditaksir mencapai 32,3 miliar ton dengan 92,5% merupakan batu bara kalori rendah dan sedang.
Dengan asumsi produksi rata-rata per tahun di angka 550 juta ton dan tidak ditemukan cadangan batu bara baru, maka jumlah tersebut cukup untuk 59 tahun lagi.
Hal ini berbeda dengan cadangan minyak yang terus menipis dan lifting yang terus merosot sehingga kebutuhan bahan bakar terutama untuk memasak seperti LPG Indonesia harus bergantung pada impor.
Kebutuhan LPG yang terus meningkat sementara produksi terus menurun membuat lebih dari 70% pasokan LPG di Tanah Air disuplai dari impor.
Dengan adanya proses gasifikasi batu bara ini, maka ketergantungan terhadap impor bisa diturunkan 10-17% dan bisa menghemat cadangan devisa hingga Rp 9,7 triliun per tahun dan neraca perdagangan hingga Rp 5,5 triliun per tahun. Ini menjadi keuntungan kedua dari proyek hilirisasi batu bara ini.
Keuntungan ketiga, keberadaan proyek ini juga mendongkrak nilai investasi di dalam negeri. Masuknya Air Products untuk menggarap proyek ini telah menambah investasi asing ke dalam negeri sebesar Rp 30 triliun.
Keempat, adanya proyek dan investasi ini membuat lapangan pekerjaan menjadi terbuka. Adanya proyek DME akan menggerakkan industri nasional yang melibatkan tenaga lokal dengan penyerapan jumlah tenaga kerja sekitar 10.570 orang pada tahap konstruksi dan 7.976 orang pada tahapan operasi.
Kelima, DME lebih efisien ketimbang LPG. Hal ini sudah dibuktikan oleh Lemigas Balitbang ESDM. Hasil uji coba kami menunjukkan bahwa efisiensi kompor meningkat dari rata-rata 61,9% dengan penggunaan LPG, menjadi 73,4% apabila menggunakan DME, sehingga keperluan DME untuk kebutuhan memasak terjadi penurunan, lebih rendah dibandingkan kebutuhan kalori teoritisnya.
Keenam, merupakan salah satu bentuk konkret untuk mendukung kebijakan bauran energi dan menyongsong masa depan Indonesia yang lebih mandiri dari sisi pemenuhan kebutuhan energi domestik. Hal ini akan turut mengurangi risiko besar shock di perekonomian dan nilai tukar ketika terjadi fluktuasi tinggi harga energi global.
Secara keseluruhan, proyek gasifikasi batu bara menjadi DME ini memang memberikan faedah yang lebih banyak.
TIM RISET CNBC INDONESIA